Thursday, September 16, 2010

Cinta Laki2 Biasa

Cinta Laki2 Biasa

Cinta Laki2 Biasa
Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.

Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.

Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi. Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.

Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana . Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!

Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap. Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.

Kamu pasti bercanda!

Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.

Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!

Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.

Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!

Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.

Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan ? Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?

Nania terkesima.

Kenapa?

Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.

Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!

Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur. Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!

Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.

Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.

Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.

Tapi kenapa?

Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.

Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.

Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!

Cukup!

Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?

Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.

Mereka akhirnya menikah.

***

Setahun pernikahan.

Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.

Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.

Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.

Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.

Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.

Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!

Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.

Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.

Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!

Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan ?

Rafli juga pintar!

Tidak sepintarmu, Nania.

Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan. Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.

Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.

Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli!

Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.

Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.

Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.

Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..

Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.

Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!

Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.

Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!

Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.

Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.

Cantik ya? dan kaya!

Tak imbang!
Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.

Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.

***

Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.

Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!

Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.

Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.

Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.

Baru pembukaan satu. Belum ada perubahan, Bu. Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.

Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.

Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.

Masih pembukaan dua, Pak! Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.

Bang? Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.

Dokter?

Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.

Mungkin? Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu? Bagaimana jika terlambat?

Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.

Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.

Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.

Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.

Pendarahan hebat!

Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.

Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.

Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.

Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.

***

Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah boleh membawanya pulang.
Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah boleh membawanya pulang.

Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.

Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.

Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..

Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.

Nania, bangun, Cinta? Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.

Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,

Nania, bangun, Cinta? Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.

Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.

Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.

Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab.. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.

Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.

Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.

Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.

Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu.. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?

Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.

Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.

Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.

Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.

Baik banget suaminya! Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!

Nania beruntung! Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.

Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!

Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.

Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?

Tapi dia salah. Sangat salah.. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?

Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka.. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.

Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan.. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.

Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania

Karena dia manusia biasa

Karena Dia Manusia Biasa…

Setiap kali ada teman yang mau menikah, saya selalu mengajukan pertanyaan yang sama. Kenapa kamu memilih dia sebagai suamimu/istrimu? Jawabannya sangat beragam. Dari mulai jawaban karena Allah hingga jawaban duniawi (cakep atau tajir, manusiawi lah). Tapi ada satu jawaban yang sangat berkesan di hati saya.

Hingga detik ini saya masih ingat setiap detail percakapannya. Jawaban salah seorang teman yang baru saja menikah. Proses menuju pernikahannya sungguh ajaib. Mereka hanya berkenalan 2 bulan. Lalu memutuskan menikah. Persiapan pernikahan hanya dilakukan dalam waktu sebulan saja. Kalau dia seorang akhwat, saya tidak akan heran. Proses pernikahan seperti ini sudah lazim.

Dia bukanlah akhwat, sama seperti saya. Satu hal yang pasti, dia tipe wanita yang sangat berhati-hati dalam memilih suami. Trauma dikhianati lelaki membuat dirinya sulit untuk membuka diri. Ketika dia memberitahu akan menikah, saya tidak menanggapi dengan serius. Mereka berdua baru kenal sebulan. Tapi saya berdoa, semoga ucapannya menjadi kenyataan. Saya tidak ingin melihatnya menangis lagi.

Sebulan kemudian dia menemui saya. Dia menyebutkan tanggal pernikahannya. Serta memohon saya untuk cuti, agar bisa menemaninya selama proses pernikahan. Begitu banyak pertanyaan dikepala saya. Asli. Saya pengin tau, kenapa dia begitu mudahnya menerima lelaki itu.

Ada apakan gerangan? Tentu suatu hal yang istimewa. Hingga dia bisa memutuskan menikah secepat ini. Tapi sayang, saya sedang sibuk sekali waktu itu (sok sibuk sih aslinya). Saya tidak bisa membantunya mempersiapkan pernikahan. Beberapa kali dia telfon saya untuk meminta pendapat tentang beberapa hal. Beberapa kali saya telfon dia untuk menanyakan perkembangan persiapan pernikahannya. That’s all. Kita tenggelam dalam kesibukan masing-masing.

Saya menggambil cuti sejak H-2 pernikahannya. Selama cuti itu saya memutuskan untuk menginap dirumahnya. Jam 11 malam, H-1 kita baru bisa ngobrol -hanya- berdua di taman rumahnya. Hiruk pikuk persiapan akad nikah besok pagi, sungguh membelenggu kita. Padahal rencananya kita ingin ngobrol tentang banyak hal. Akhirnya, bisa juga kita ngobrol berdua. Ada banyak hal yang ingin saya tanyakan. Dia juga ingin bercerita banyak pada saya.

“Aku gak bisa tidur.” Dia memandang saya dengan wajah memelas. Saya paham kondisinya saat ini. Kita melanjutkan ngobrol sambil berbisik-bisik. Kita berbicara banyak hal, tentang masa lalu dan impian-impian kita. Wajah sumringahnya terlihat jelas dalam keremangan lampu taman.

“Kenapa kamu memilih dia?” Dia tersenyum simpul lalu bangkit dari duduknya sambil meraih HP disaku bajunya. Ia masuk dalam kamar berlahan dia membuka laci meja riasnya dan kembali ke taman lalu menyerahkan selembar amplop pada saya. Saya menerima HP dari tangannya. Amplop putih panjang dengan kop surat perusahaan tempat calon suaminya bekerja. Apaan sih. Saya memandangnya tak mengerti. Eeh, dianya malah ngikik geli.

“Buka aja.” Sebuah kertas saya tarik keluar. Kertas polos ukuran A4, saya menebak warnanya pasti putih hehehe. Saya membaca satu kalimat di atas dideretan paling atas.

“Busyet dah nih orang.” Saya menggeleng-gelengkan kepala sambil menahan senyum. Sementara dia Cuma ngikik melihat ekspresi saya. Saya memulai membacanya. Dan sampai saat inipun saya masih hapal dengan kata-katanya. Begini isi surat itu.
—-

Kepada Yth

Calon istri saya, calon ibu anak-anak saya, calon anak Ibu saya dan calon kakak buat adik adik saya

Di tempat
Assalamu’alaikum Wr Wb

Mohon maaf kalau anda tidak berkenan. Tapi saya mohon bacalah surat ini hingga akhir. Baru kemudian silahkan dibuang atau dibakar, tapi saya mohon, bacalah dulu sampai selesai.

Saya, yang bernama …… menginginkan anda …… untuk menjadi istri saya.

Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya manusia biasa. Saat ini saya punya pekerjaan. Tapi saya tidak tahu apakah nanti saya akan tetap punya pekerjaan. Tapi yang pasti saya akan berusaha punya penghasilan untuk mencukupi kebutuhan istri dan anak-anakku kelak.Saya memang masih kontrak rumah. Dan saya tidak tahu apakah nanti akan ngontrak selamannya. Yang pasti, saya akan selalu berusaha agar istri dan anak-anak saya tidak kepanasan dan tidak kehujanan.

Saya hanyalah manusia biasa, yang punya banyak kelemahan dan beberapa kelebihan. Saya menginginkan anda untuk mendampingi saya. Untuk menutupi kelemahan saya dan mengendalikan kelebihan saya.

Saya hanya manusia biasa. Cinta saya juga biasa saja. Oleh karena itu. Saya menginginkan anda mau membantu saya memupuk dan merawat cinta ini, agar menjadi luar biasa. Saya tidak tahu apakah kita nanti dapat bersama-sama sampai mati. Karena saya tidak tahu suratan jodoh saya.

Yang pasti saya akan berusaha sekuat tenaga menjadi suami dan ayah yang baik.

Kenapa saya memilih anda? Sampai saat ini saya tidak tahu kenapa saya memilih anda. Saya sudah sholat istiqaroh berkali-kali, dan saya semakin mantap memilih anda. Yang saya tahu, Saya memilih anda karena Allah. Dan yang pasti, saya menikah untuk menyempurnakan agama saya, juga sunnah Rasulullah. Saya tidak berani menjanjikan apa-apa, saya hanya berusaha sekuat mungkin menjadi lebih baik dari saat ini.

Saya mohon sholat istiqaroh dulu sebelum memberi jawaban pada saya. Saya kasih waktu minimal 1 minggu, maksimal 1 bulan. Semoga Allah ridho dengan jalan yang kita tempuh ini. Amin

Wassalamu’alaikum Wr Wb
Saya memandang surat itu lama. Berkali-kali saya membacanya. Baru kali ini saya membaca surat ‘lamaran’ yang begitu indah. Sederhana, jujur dan realistis. Tanpa janji-janji gombal dan kata yang berbunga-bunga. Surat cinta minimalis, saya menyebutnya. Saya menatap sahabat disamping saya. Dia menatap saya dengan senyum tertahan.

“Kenapa kamu memilih dia.”

“Karena dia manusia biasa.” Dia menjawab mantap. “Dia sadar bahwa dia manusia biasa. Dia masih punya Allah yang mengatur hidupnya. Yang aku tahu dia akan selalu berusaha tapi dia tidak menjanjikan apa-apa. Soalnya dia tidak tahu, apa yang akan terjadi pada kita dikemudian hari. Entah kenapa, Itu justru memberikan kenyamanan tersendiri buat aku.”

“Maksudnya?”

“Dunia ini fana. Apa yang kita punya hari ini belum tentu besok masih ada. Iya kan? Paling gak. Aku tau bahwa dia gak bakal frustasi kalau suatu saat nanti kita jadi gembel. Hahaha.”

“Ssttt.” Saya membekap mulutnya. Kuatir ada yang tau kalau kita ngobrol rahasia. Terdiam kita memasang telinga. Sunyi. Suara jengkering terdengar nyaring diluar tembok. Kita saling berpandangan lalu cekikikan sambil menutup mulut masing-masing. “Udah tidur sana. Besok kamu kucel, ntar aku yang dimarahin Mama.” Percakapan kita tadi masih terngiang terus ditelinga saya.

“Gik…”

“Tidur. Dah malam.” Saya menjawab tanpa menoleh padanya. Saya ingin dia tidur, agar dia terlihat cantik besok pagi. Kantuk saya hilang sudah, kayaknya gak bakalan tidur semaleman nih. * * *

Satu lagi pelajaran pernikahan saya peroleh hari itu. Ketika manusia sadar dengan kemanusiannya. Sadar bahwa ada hal lain yang mengatur segala kehidupannya. Begitupun dengan sebuah pernikahan. Suratan jodoh sudah tergores sejak ruh ditiupkan dalam rahim. Tidak ada seorang pun yang tahu bagaimana dan berapa lama pernikahannya kelak. Lalu menjadikan proses menuju pernikahan bukanlah sebagai beban tapi sebuah ‘proses usaha’.

Betapa indah bila proses menuju pernikahan mengabaikan harta, tahta dan ‘nama’. Embel embel predikat diri yang selama ini melekat ditanggalkan. Ketika segala yang ‘melekat’ pada diri bukanlah dijadikan pertimbangan yang utama. Pernikahan hanya dilandasi karena Allah semata. Diniatkan untuk ibadah. Menyerahkan secara total pada Allah yang membuat skenarionya. Maka semua menjadi indah.

Hanya Allah yang mampu menggerakkan hati setiap hamba-NYA.
Hanya Allah yang mampu memudahkan segala urusan.
Hanya Allah yang mampu menyegerakan sebuah pernikahan.
Kita hanya bisa memohon keridhoan Allah. Meminta-NYA mengucurkan barokah dalam sebuah pernikahan.
Hanya Allah jua yang akan menjaga ketenangan dan kemantapan untuk menikah.

Lalu, bagaimana dengan cinta? Ibu saya pernah bilang, Cinta itu proses. Proses dari ada, menjadi hadir, lalu tumbuh, kemudian merawatnya. Agar cinta itu bisa bersemi dengan indah menaungi dua insan dalam pernikahan yang suci. Witing tresno jalaran garwo (sigaraning nyowo), kalau diterjemahkan secara bebas: “Cinta tumbuh karena suami/istri (belahan jiwa).”

Cinta paling halal dan suci. Cinta dua manusia biasa, yang berusaha menggabungkannya agar menjadi cinta yang luar biasa.
Amin.

Friday, June 4, 2010

cerpenqu :) perjalanan

Perjalanan
By: Nia Moffetra

Hidup ini memang sebuah pilihan. Pilihan untuk menentukan apa yang disukai maupun tidak. Itulah yang sedang dialami Ricky. Perdebatan antara dia dan ayahnya yang menurutnya selalu mengatur kehidupan anak-anaknya tanpa memperdulikan apa yang anak-anaknya inginkan yang kadangkala jauh dari apa yang diharapkan ayahnya. Terutama masalah yang satu ini, ayahnya ingin Ricky masuk ke universitas kedokteran seperi kedua kakaknya yang juga mengikuti jejak sang ayah, padahal Ricky lebih berminat pada bidang arsitektur. Itulah yang kini membuat Ricky pergi dari rumah. Sudah terlalu lama hidupnya di atur oleh ayahnya, dan sekarang dia ingin menjalani segala sesuatunya menurut kemauannya sendiri.
Senja pada sore itupun mengiringi perjalanan Ricky dengan mobil kesayangannya hadiah ultah dari kakak-kakaknya yang sudah sukses itu. Dia sendiri tidak tahu mau kemana, dia hanya mengikuti jalan yang terbentang di depannya. Dia juga sadar kepergiannya sebentar lagi pasti akan diketahui oleh keluarganya.
Terlihat di depan jalan ada seorang gadis yang melambaikan tangannya untuk bisa mendapat tumpangan sambil membawa backpack. Ricky sih cuek aja, dia lewati gadis itu. Tapi setelah beberapa meter mobilnya melaju, dia baru sadar kalau jalanan itu sepi dan mungkin akan jarang kendaraan yang lewat sini kalau sudah malam begini. Kemudian Ricky memutar balik mobilnya dan mendatangi gadis itu lagi yang ternyata masih berdiri di pinggir jalan itu dengan wajah yang kelihatannya sudah letih.
“ Maaf, mba mau kemana?” tapi gadis itu justru kelihatan kesal dan pertanyaan Ricky pun tak di gubris gadis itu.
“ Maaf mba, bukannya tadi saya tidak mau memberi tumpangan tapi saya kelewatan, lagian malem-malem gini pasti udah jarang ada kendaraan yang lewat sini, kalau mba mau menumpang saya nggak keberatan, daripada ntar mba kenapa-napa di jalan kayak gini” Lanjut Ricky dengan bermaksud agar gadis itu tidak merasa tersinggung.
“Kamu ngancem saya? Saya tahu tadi kamu jalan terus aja tanpa peduli ma saya. Justru saya yang heran kenapa kamu balik lagi, jangan-jangan kamu punya niat jahat ma saya.” Jawab gadis itu ketus.
“ Nggak kok mba, kalau memang mau menumpang nggak papa, saya bisa anterin” jawab Ricky sambil tersenyum.
Gadis itupun masuk ke mobil Ricky walau wajahnya masih terlihat kesal.
“Mau kemana mba?” Tanya Ricky ramah.
“Jalan aja nanti saya kasih tau” jawab gadis itu singkat.
“Saya Ricky, nama kamu siapa?”
“Saya Ata”. Jawab gadis itu ramah akhirnya.
“Kamu masih sekolah?”
“Iya, baru naik kelas 3 SMA, kamu sendiri?”
“Oh, kalau saya baru lulus SMA.”
“Hmm, saya berenti di stasiun aja mas. Di pertigaan jalan nanti belok kanan ada stasiun. Saya berenti di situ saja.”
“Jangan panggil saya mas, panggil Ricky aja.” Jawab Ricky sambil terkekeh.
“Kalau mau tidur silahkan aja, kayaknya kamu lelah banget”
Kemudian gadis itu menatap heran ke Ricky.
“Tenang aja nggak saya apa-apain kok, saya orang baik-baik” jawab Ricky membalas tatapan gadis itu. Walau sebenarnya Ricky masih mau ngobrol dengan gadis itu karena heran juga ngapain dia malem-malem gini pergi sendirian. Malah sempat melesat di pikiran Ricky, jangan-jangan gadis ini juga kabur dari rumah. Tapi dia mengurungkan niatnya karena gadis itu memang sudah sangat terlihat letih.

Malam semakin larut dan lambat laun gadis itu tertidur. Suasana perjalanan itu sangat sepi Ricky cuma ditemani lagu-lagu yang dia putar di mobilnya dengan suara yang pelan. Akhirnya sampai juga di stasiun kereta. Dia pun membangunkan gadis itu. Gadis itupun terbangun dan beranjak keluar dari mobil.
“Kamu beneran berenti di sini? Memang kamu mau kemana sih?” Tanya Ricky heran sambil melihat keadaan stasiun yang lumayan sudah sepi hanya beberapa orang penjual dan penumpang yang terlihat seperti sedang menunggu peberhentian kereta selanjutnya.
“Iya saya berenti di sini saja, saya mau ke rumah tante saya, makasih banyak ya” balas gadis itu.
“Iya, nggak papa kok, hati-hati ya”
“Ok” balas gadis itu semangat dan gadis itupun berlalu dari hadapan Ricky.

Ricky kemudian mampir di mini market yang ada di stasiun itu untuk membeli bekal untuk perjalanan berikutnya. Ricky kaget ketika sedang memilih beberapa makanan kecil, dan matanya tertuju pada surat kabar yang memuat foto dirinya terpajang di situ. Dia langsung bergegas membayar belanjaannya dan juga surat kabar itu. Ricky sadar dia sudah dua hari meninggalkan rumah tanpa ada satupun nomer telpon yang bisa di hubungi. Ricky kembali ke mobil dan menjalankan mobilnya. Dia coba membaca lagi berita yang ada di Koran itu. Dan dia juga kaget karena di halaman yang sama dia melihat sosok foto gadis yang mirip dengan Ata, gadis yang barusan menumpang di mobilnya. Di situ juga tertulis kalau gadis itu juga pergi dari rumah sudah tiga hari. Ternyata apa yang dipikirkan Ricky mengenai gadis itu benar, dia juga kabur dari rumah.
Dan dia lebih kaget lagi waktu Ata tiba-tiba muncul dari belakangnnya.
“Kamu jangan kaget gitu dong, kendarain aja mobil kamu dengan bener. Kamu pasti udah tau berita soal aku dari Koran itu kan. Tadi waktu duduk di stasiun aku liat berita itu, makanya aku panik nggak tau mesti ngapain, akhirnya aku keluar stasiun dan lihat mobil kamu masih ada di sini dan aku masuk aja karena mobil kamu ternyata nggak di kunci. Sorry yach” gadis itu menjelaskan.
Ricky pun baru sadar kalau tadi dia lupa mengunci mobilnya.
“Ternyata kita sama-sama kabur dari rumah ya” balas Ricky.
“Aku juga tau itu, trus kamu sekarang mau kemana?”
“Nggak tau, belum tau juga mau kemana, bukannya tadi kamu bilang mau ke rumah tante kamu?”
“Iya sebenernya aku mau ke rumah tanteku yang ada di Bandung, karena Cuma dia satu-satunya orang yang ngerti banget dengan aku. Eh aku boleh duduk di depan nggak?”
“Silahkan, boleh aja” jawab Ricky sambil memindahlan barang belanjaannya ke belakang.
Mereka mulai merasa akrab satu sama lain dan mulai menceritakan masalah masing-masing. Di mulai dengan Ata yang ternyata dia mengidap gagal jantung. Dia merasa bosan banget terus-terusan tinggal di rumah sakit, makanya dia kabur. Dia ingin sebelum ajalnya tiba dia ingin menghabiskan hidupnya dengan menghirup udara kebebasan dan melakukan hal-hal yang dia ingini. Sedangkan kalau di rumah sakit dia nggak bisa ngelakuin apa-apa selain hanya istirahat dan istirahat. Ricky pun bercerita kalau dirinya kabur juga karena berdebat dengan ayahnya dan ingin bebas dari ayahnya yang selalu mengatur kehidupannya. Sebenarnya kedua kakaknya juga punya cita-cita lain, namun karena tak ingin mengecewakan ayahnya maka kedua kakaknya mengikuti jejak sang ayah sebagai dokter. Sedangkan Ricky tak ingin jadi dokter, dia ingin jadi arsitek. Kemudian terdengar tawa cekikikan dari Ata.
“Loh, kenapa ketawa?” Tanya Ricky heran.
“Enggak, aku cuma mikir, kalau dokternya secakep kamu, aku jamin setiap hari pasti tempat praktek kamu pasti penuh pasien, terutama pasien cewek hahahahahha” jawab Ata geli.
Terlintas senyum malu dari bibir Ricky. Ata tau dia nggak bisa menyangkal kalau Ricky itu memang tampan, badannya tinggi dan tegap dengan kulit yang bersih, Punya selera humor dan juga baik. Walau kadang-kadang dia keliatan sombong, dingin dan cuek kalau lagi diam.

Sudah tiga hari perjalanan mereka sejak bertemu. Perjalanan dari Yogya menuju Bandung. Mereka tidak terburu-buru dan hari-hari dihabiskan di mobil itu. Ya kadangkala kalau lagi melewati jalan yang pemandangnnya bagus mereka berenti sejenak untuk menikmati pemandangan itu. Dan menginap di motel-motel sederhana dengan biaya yang murah tentunya, umtuk mennghemat biaya perjalanan mereka. Hari-hari itu mereka lalui bersama. Mereka juga mulai menyadari kalau keberadaan mereka kadang dikenali oleh orang lain, lantaran infomasi tentang mereka yang ada di Koran nasional itu. Misalnya saja waktu mengisi solar mobil, salah satu pegawai mengenal mereka dan melaporkan mereka ke nomer yang ada di surat kabar itu. Tentu saja mereka langsung kabur dan lupa membayar solar yang mereka beli.
Malam itu Ata terlihat sangat lemah dan pucat. Tubuhnya gemetar dan berkeringat dingin. Ricky tidak tau harus berbuat apa. Sudah berbagai usaha yang dia lakukan untuk menghangatkan Ata, tapi tidak ada perubahan juga, tubuhnya tetap dingin sekali. Sekarang mereka juga lagi berada jauh dari rumah penduduk dan tidak ada penginpan di dekat daerah itu. Ricky semakin tidak tega melihat keadaan Ata. Yang terlintas di pikirannya hanyalah mengantarkan Ata ke rumah sakit. Namun jika dia lakukan itu maka mereka akan berada dalam keadaan seperti mereka dulu. Terperangkap pada pilihan yang tidak mereka inginkan.

“Ata….Ata kamu sudah sadar sayang? Papa dan Mama sangat mencemaskan kamu, kamu kemana saja sih?”
Ata tidak dapat berbicara lagi. Dia sadar, tempat ini tidak asing lagi baginya. Tempat yang selalu dia benci, tempat yang selalu mengekangnya, rumah sakit. Mamanya menjelaskan kalau ada anak laki-laki yang mengantar dia ke rumah sakit, dan dia Cuma bilang semoga kamu cepat sembuh. Ata tak bisa lagi membendung airmatanya. Kenapa Ricky mengingkari janjinya kalau mereka tidak akan kembali ke masa dimana mereka merasa tertekan.
Begitu juga dengan Ricky. Dia kembali ke rumah. Sambutan suka cita dari keluarganya memecah kerinduan keluarganya yang selalu menanti kepulangannya. Ayahnya berjanji untuk tidak memaksa Ricky lagi untuk jadi dokter.
“Yah, Ricky mau jadi dokter, dokter ahli jantung. Boleh kan?” tiba-tiba Ricky menyampaikan keinginannya sekarang kepada ayahnya yang sangat mengejutkan keluarganya, terutama ayahnya.
Dia menyadari pelukan hangat dari ayah dan keluarganya justru membuatnya merasa bahagia dan damai. Namun ada kebahagiaan yang sangat berarti baginya. Kebahagiaan saat-saat kabur dari rumah dan bertemu Ata. Melewati hari bersama dan juga telah merasa benar mengantarkan Ata ke rumah sakit demi kebaikannya. Karena dia tidak ingin melihat Ata menderita tanpa mendapatkan pertolongan dan perawatan yang semestinya.
“Dia cuma menitipkan ini buat kamu” Suster di rumah sakit itu hanya memberikan Ata selembar kertas dan gantungan kunci lumba-lumba yang terdapat bintang di tengahnya.
“Makasih ya” jawab Ata pelan sambil membuka surat itu dan mulai membacanya.
“Ta, maaf ya. Aku lakuin ini karena aku nggak tega lihat kamu menderita tanpa dapat pertolongan yang semestinya, dan aku pasti akan merasa bersalah banget kalau sampai terjadi apa-apa sama kamu. Ini gantungan kunciku buat kamu. Ini barang kesukaanku dan menurut aku bisa membuat aku semangat dan membawa keburuntungan buat aku. Dan aku harap bisa membawa keberuntungan juga buat kamu. supaya kamu nggak putus asa dan mesti yakin kalau nanti kamu itu bakalan bisa sembuh. Karena lumba-lumba itu selalu bahagia dan bintang itu bisa membuat kamu untuk terus berusaha dan nggak putus asa. Aku ingin kalau kita ketemu nanti kamu harus lebih baik dari sekarang yach. Kamu kejar harapanmmu untuk bisa sembuh dan aku akan kejar harapanku untuk melakukan apa yang aku yakini sekarang. Aku yakin kita pasti bisa bertemu lagi nanti.” Walau Ata sedih dengan isi surat itu, tapi itu justru bisa memberi dia harapan agar dia bisa bertahan.

Sudah 5 tahun lamanya setelah peristiwa itu. Dan Ricky sebentar lagi akan segera menyelesaikan sekolahnya dan nantinya bisa menjadi dokter spesialis jantung seperti apa yang dia inginkan. Ricky kini bertugas merawat seorang pasien yang karena keinginannya yang kaut ingin bisa sembuh, maka dia bisa bertahan hingga saat ini. Dia sangat bahagia karena gadis yang dia kenal dulu sangat kuat dan punya semangat yang besar sekarang. ternyata selama 5 tahun ini Ricky selalu memantau perkembangan Ata tanpa Ata sendiri ketahui. Dan memang sekarang Ricky sendiri yang mengajukan diri untuk merawat pasiennnya itu. Dan sekarang pasiennya itu sedang menunggunya.
“Selamat siang, maaf kalau anda sudah menunggu terlalu lama” sapa Ricky.
Alangkah kagetnya Ata ketika meilhat orang yang sekarang berdiri di depannya. Tidak mungkin dia bisa melupakan wajah itu. Orang yang meninggalkan kenangan bersamanya dulu.
“Ricky…..kamu sekarang jadi dokter…tapi kan dulu kamu bilang...”
“Nggak mau jadi dokter” jelas Ricky meneruskan kalimat Ata.
“Aku sudah berubah pikiran saat kamu sekarat dulu. Aku berpikir alangkah bahagianya aku kalau bisa menolong orang lain yang benar-benar membutuhkan pertolonagn aku. Makanya aku memutuskan untuk jadi dokter….dokter spesialis jantung, supaya aku bisa menolong orang seperti kamu.”
Ata tidak dapat menahan rasa rindunya, dia raih tubuh tinggi tegap itu dan memeluknya dengan erat, seolah tak mau orang itu meninggalkannya lagi.
“Rihard….itu nama kamu ya?” balas gadis yang ada di hadapannya itu, dengan rambut ikalnya yang sebahu, dan sekarang lebih manis dan lebih dewasa.
“Yup…itu nama aku, Ricky itu nama kecilku. Dan sekarang aku yang akan merawat kamu” jawab Ricky singkat dan didekap lagi erat gadis itu. Ya, Ata memang terlihat sangat kecil dalam dekapannya.

Desiran angin dan ombak di pantai mengingatkan mereka akan kenangan mereka dulu. Waktu mereka berhenti di pinggir pantai ini untuk menikmati alam sekitarnya.
“Ternyata kamu sewaktu sakit malah jalan-jalan mulu ya”
“Haahhahahha aku bilang ke ortuku kalau aku nggak mau terus-terusan di rumah atau di rumah sakit, aku juga ingin keluar, jalan ke luar kota. Ya akhirnya ortuku mengizinkan aku untuk jalan-jalan dengan ditemenin Mama dan Tanteku. Pokoknya aku bener-bener menikmati hari-hariku dan nggak nyangka aja bisa bertahan selama ini.
“ Tapi kamu tau darimana?”
“Kan selama 5 tahun ini aku selalu memantau kesehatan kamu tanpa sepengetahuan kamu” tawa kecil terdengar dari mulut ricky.
“Dasar jahat kamu” keluh Ata kesal.
“ Kamu selalu tau perkembangan aku, tapi kamu nggak biarin aku tau perkembangan kamu juga selama ini?, aku piker kamu udah lupain aku”
“Bukannya gitu, aku takut kalau kamu malah marah ke aku nanti karena udah nganterin kamu ke rumah sakit waktu itu.” Jelas Ricky.
“Emang sih aku marah dan kesel banget, tapi sekarang udah nggak, akhirnya aku tau kalau kamu Cuma lakuin yang terbaik buat aku, mungkin kalau aku di posisi kamu, aku juga lakuin hal yang sama.” jawab Ata.
“Mungkin karena lumba-lumba ini juga ya?” balas Ricky sambil memegang gantungan kunci mobilnya yang kini sudah menjadi liontin di kalungnya Ata.
“Mungkin…” jawab Ata sambil nyengir.
“Kamu tau semua kenangan kita dulu nggak pernah aku lupain, karena berawal dari sanalah semua kehidupan baruku dimulai” balas Ricky.
“Perjalanan kita dulu rencanannya sampai ke Bandung kan. Tapi ternyata kita hanya bisa setengah perjalanan. Kamu tau, sepertinya pengen deh ngelanjutin perjalanan yang belum selesai itu, tapi bisa nggak ya?? Apa aku masih di beri waktu lagi sama Tuhan untuk ngelakuin apa yang aku mau??”
“Kenapa nggak? Tuhan itu sangat sayang sama kamu, karena kamu punya semangat yang tinggi untuk menjalani hari-hari kamu. Dan lagian kan sekarang ada aku yang bakal ngejaga kamu, untuk melanjutkan nggak hanya perjalan kita yang belum selesai tapi juga melanjutkan perjalanan kehidupan kita selanjutnya” balas Ricky sambil tersenyum.
“Kita??” balas Ata mencoba memperjelas.
“Iya kita, kamu dan aku dan untuk kehidupan kita seterusnnya akan kita lalui bersama, deal??” Tanya Ricky.
“Deal” jawab Ata pasti.

Someone like you

Someone like you
By Nia Moffetra


“Anggie gue udah liat tampangnya, gila…emang mirip banget.”
“Hah yang bener?”
“Beneeer, ntar gue tunjukkin deh orangnya ma lo.”
Anggie penasaran banget sama kakak kelasnya, Mario, yang katanya mirip banget sama Ronald, mantan pacarnya dulu yang udah meninggal karena kecelakaan motor. Anggie dan Nika baru seminggu pindah kesekolahan itu, karena dua sepupuan ini emang ini baru pindah dari Yogya ke Palembang, karena Ayahnya Anggie di pindah tugaskan di sini, dan Nika sendiri tinggal dengan keluarganya Anggie setelah orang tuanya yang merupakan kakak Ayahnya Anggie yang meninggal karena kecelakaan beberapa tahun yang lalu. Mereka sama-sama anak tunggal, jadi sekarang mereka sudah seperti saudara kandung.
Beberapa hari yang lalu Nika bilang dia ngeliat cowok yang mirip banget dengan Ronald, makanya mereka niat banget cari tau tentang cowok itu.
“Permisi kak Anna, kak Marionya ada di kelas nggak?”
“Kayaknya nggak ada tuh, biasanya jam istirahat gini dia selalu ada di kantin, coba cari di sana ?”
“Oh ya udah deh, makasih ya kak.”
Anggie dan Nika langsung meninggalkan IPS VI dan langsung ke kantin. Tapi pas udah ngeliat kak Mario, malahan Nika duluan yang ngajak kenalan sama Mario, biasalah sobatnya satu ini emang suka sok kenal.
“Maaf nih, ini kak Mario kan?”
“Ya, gue emang Mario, kenapa?”
Anggie kaget banget pas ngeliat Mario, ternyata apa yang dibilang Nika bener, kak Mario mirip banget sama Ronald.
“Enggak sih, sebenernya temen gue mau kenalan sama kakak, nih orangnya, namanya Anggie dan gue sendiri Nika”
Terang aja muka Anggie langsung merah karena malu, sobatnya ini suka malu-maluin aja, untung kak Mario lagi sendirian, coba kalo lagi sama teman-temannya, mau di taruh dimana ni muka. Untung aja kak Mario ramah. Ya, akhirnya Mario langsung mengajak dua cewek ini untuk ngobrol-ngobrol bareng.
“Ada apa nih tiba-tiba ngajak kenalan?”
“Mmm kita murid baru disini, jadi sebenernya kita mau ikut eskul anggar, dan katanya mesti ngomong ama kak Mario dulu, karena kak Mario ketuanya kan?” tanya Nika denagn PD-nya.
Anggie langsung memandang heran, sejak kapan mereka kepingin masuk eskul anggar, Nika nggak pernah bilang soal ini?
“Oh gitu, ya udah ntar sore kalian kumpul di aula olahraga, karena kita latihan disitu dan sekalian ntar gue kasih tau apa aja syaratnya, ok!, coz sekarang gue mesti masuk kelas, kalian juga mesti masuk kelas juga kan?”
“Oh iya ya, ya udah deh, see you ntar sore ya kak”
“Ok deh !”

Hari pertama latihan sudah cukup menyenangkan buatnya, dia bisa liat Mario dari dekat, liat pas dia latihan , pas dia becandaan dengan teman-temannya. Dia merasa apa yang udah hilang dari dirinya akan kembali lagi. Sepulang latihan, dua cewek ini curhat-curhatan tentang latihan pertama mereka. Anggie yang seneng banget bisa ngeliat kak Marionya, dan Nika yang juga seneng banget karena cowok-cowok yang ikut eskul ini cakep-cakep.
“Nik, Mario orangnya baik ya! Udah cakep, keren dan ngasyikin pula. Emang bener-bener mirip Ronald”
“Akhirnya gue bisa ngeliat lo semangat lagi, nggak perlu merenung and nangis tengah malem cuma gara-gara lo kangen ma Ronald. Kan sekarang kalo lo kangen ma Ronald, lo bisa liat kak Mario and ajak ngobrol aja, iya nggak?”
“Yee..elo tu yach!!”

Keesokkan harinya, tiba-tiba aja Nika tampangnya jadi bete nggak ngenakin dipandang. Dia ngasih kabar yang emang bener-bener nggak ngenakin. Dia bilang kalo kak Mario udah punya pacar yang namanya Dessy yang juga satu kelas sama Mario. Nika juga bilang kalo mereka udah pacaran 4 tahun. Mereka teman sejak kecil dan mulai pacaran sejak 3 SMP. Nika tau semua ini dari salah satu kenalannya yang satu kelas dengan Mario. Memang Nika jauh lebih aktif dibanding Anggie, dia cepat bersosialisasi dan lebih punya banyak teman.
Tapi semua itu tidak mempengaruhi Anggie. Buktinya dia masih aja ngedekitin Mario. Dan malahan mereka sekarang akrab banget. Nggak hanya deket dengan kak Rio (panggilan akrab Mario) tapi Anggie juga semakin akrab dengan kak Dessy, dan sekarang mereka malah berteman baik.

Hari demi hari, waktu demi waktu, akhirnya kalau usahanya untuk ngambil Mario dari kak Dessy itu salah banget, karena kak Dessy sendiri nganggap Anggie seperti adik sendiri.
“Jadi keputusan elo gimana nih Nggie?”
“Nggak tau deh Nik, kak Dessy itu orangnya baik banget . Dia nganggep gue kayak adiknya sendiri. Dia bahkan nggak curiga sama sekali sama gue, walaupun banyak temennya bilang kalo gue ini mau PDKT ma kak Rio”
“Kalau gitu, berarti dia nggak sayang lagi dong sama Mario?”
“Justru itu, dia tuh percaya banget sama kak Mario dan gue. Gue jadi nggak tega sama cewek sebaik itu.”
“Elo gimana sih Nggie, mereka sekarang kan udah putus gara-gara mereka bertengkar lima hari yang lalu. Lagipula kayaknya kak Rio juga suka tuh sama lo. Lo gimana sih, lo sendiri yang bilang nggak ada yang nggak bisa lo dapetin kalo lo mau.”
Kesempatan yang Anggie tunggu udah dateng sekarang. Kemaren kak Rio dan kak Dessy cek-cok dan sekarang udah putus. Tapi Anggie malah berubah pikiran.
“Lo tau nggak, gimana senengnya waktu kak Rio cerita pertama kali dia suka sama kak Dessy? Katanya kak Dessy itu cinta pertamanya, dan sekarang mereka udah 4 tahun pacaran. 4 tahun itu bukan waktu yang sebentar Nik!.Lagian kayaknya mereka putus gara-gara gue deh.”
“Eh bentar..bentar…bentar, lo bilang gara-gara elo?”
“Tapi Nik, kak Rio nggak jadi nemenin kak Dessy ke pesta ultah temennya kan karena kak Rio nemenin gue ke toko kaset sekaligus jalan-jalan!”
“Tapi kan kak Rio bilang sendiri kalo dia males pergi ke pesta itu, jadi bukan salah elo dong?”
“Lo tau nggak Nik?”
“Nggak tau tuh?”
“Yee..emang gue belum kasih tau kok!!” Anggie rada kesel.
“Nik, elo masih inget sama Billy kan?”
“Mmm…. Billy teman kita dulu? Si atlet renang itu?”
“Yap bener banget. Waktu kelas satu dulu kan gue suka ma dia, tapi ketika gue udah deket ma dia, dia malah pindah ke Jakarta nerusin sekolah atletnya.”
“Iya juga sih, kayaknya setiap cowok yang elo suka pasti selalu pergi he..he.., tapi apa hubungannya sama Mario?”
“Nggak ada, gue cuma lagi nggak mau ngomongin kak Rio lagi. Tapi lo bener, setiap cowok yang ada dalam hidup gue selalu pergi. Ronald, dia cinta pertama gue, cinta sejati gue dan cinta terakhir gue.”
“Ah.. elo kok jadi pesimis gitu sih?”
“Udah ah gue capek ngomong ma lo.” Jawab Anggie sewot.
“Ya udah gue mo tidur nguantukk banget.”
Sudah malam tapi Anggie masih belum bisa tidur, ada yang masih dia pikirkan. Dulu setelah Ronald, dia deket sama Febri, tapi setelah itu Febri pindah keluar kota. Selanjutnya begitu pula dengan Billy. Hanya ada satu barang kenangan dari Billy, gantungan kunci hello kitty warna hijau yang Billy kasih waktu dia mo pergi. Nggak seberapa sih, tapi begitu beraharga buat Anggie.


Dua minggu lagi acara perpisahan sekolah akan diadakan. Sebagian anak-anak kelas dua yang menjadi panitianya, termasuk Anggie dan Nika. Anggie masih ragu akan apa yang dirsakannya sama kak Rio. Walaupun sekarang mereka sangat dekat, tapi dia merasa apa yang dia lakukan ini sangat salah. Dan dia berfikir kayaknya dia harus merukunkan lagi kak Marionya dengan kak Dessy. Dia mulai mancari kak Dessy karena ada yang mau dia bicarakan. Akhirnya dia melihat kak Dessy lagi duduk dan ngobrol dengan teman-temanya di taman sekolah.
“Kak, maaf Anngie ganggu, ada yang mau Anggie bicarain sama kak Dessy.” Anngie mencoba meminta sedikit waktu untuk bicara.
“Ya udah deh kita ke kantin aja ya.” Jawab kaka Dessy ramah.
“Emang mo ngomong apa sih?”
“Kak, maafin Anggie ya, karena Anggie, kak Dessy jadi putus sama kak Rio.”
“Maksud kamu apa sih?”
“Kak, Anggie denger semua, sewaktu pulang sekolah Anggie mau ngembaliin novelnya kak Rio. Nia denger kak Dessy lagi ribut dengan kak Rio. Kak Dessy bilang kak Rio lebih mentingin Anggie daripada kak Dessy sendiri.”
“Oh soal itu, sudahlah itu semua sudah berakhir, lagipula ini kesempatan kamu buat dapetin Mario”
“Tunggu kak, sebenernya kak Rio sayang banget sama kak Dessy. Dia selalu seneng kalo cerita soal kak Dessy, dan nggak ada yang bisa gantiin kak Dessy di hatinya.”
Kak Dessy terdiam sejenak dan Anggie mulai melanjutkan kata-katanya.
“Sebenernya Anggie suka sama kak Rio cuma gara-gara kak Rio mirip dengan Ronald, pacar Anggie dulu yang meninggal karena kecelakaan.”
“Kecelakaan?”
“Iya kak, tapi itu semua udah cerita lama. Ya udahlah lupain dulu soal itu. Anngie mau bilang ,Anggie nggak mau ngancurin hubungan kalian.
“Jadi maksud kamu apa?”
“Maksud Anggie, kalian berdua baikkan lagi. Bentar lagi acara perpisahan kelas tiga kan, nah Anggie justru mau nyatuin lagi dua orang yang Anggie sayangi.”
“Tapi…”
“Udahlah Anggie juga tau kak Dessy masih sayang banget sama kak Rio, begitu juga kak Rio,nggak ada yang bisa gantiin kak Dessy di hatinya kak Rio. Dan ntar Anngie bantuin kak Dessy dandan buat ke pesta nanti.”
“Mmmm…boleh deh”

Sekarang Anggie dan Nika lagi sibuk mendadani kak Dessy, dengan gaya dandanan yang mereka contek dari salah satu majalah remaja dan hasilnya ‘perfect banget’. Kak Dessy cantik banget dan lebih anggun lagi dengan gaun berwarna pink-keunguan yang dipakainya. Anggie merelakan gaunnya dipakai kak Dessy untuk menebus kesalahannya. Padahal itu adalah gaun yang dia pakai waktu malam valentine bersama Ronald dulu.
Sesampai di pesta, semua terlihat indah, cantik, menarik dan meriah.
“Anngie, sebentar?”
“Ada apa lagi sih kak, sekarang pestanya udah mulai, nanti romeo kamu kelamaan nunggunya.”
“Sebenarnya Mario pernah bilang kalau dia itu juga suka sama kamu. Kamu anak yang baik, ramah juga lucu.”
“Iya, Anggie tau, tapi dia suka sama Anggie cuma sebagai adik aja.”


Semua urusan selesai, kak Mario dan kak Dessy udah baikan lagi. Acara sudah di mulai. Anggie seneng ngeliat mereka berdua rukun lagi, tapi tetap saja Anggie merasa kehilangan. Dia langsung menuju tangga yang menuju atap gedung aula. Dia berdiri di bawah langit bertabur bintang.
“Al, lo masih inget kan kalau bintang yang bersinar paling terang dan saling berdampingan itu adalah bintang kita berdua, walau katanya setiap hari itu ada ribuan bintang yang jatuh dan posisi bintang itu gak tetap, tapi bintang kita tetap bersinar dan kelihatannya masih berada di tempat yang sama.” Al adalah nama panggilan Ronald.
“Setelah elo pergi memang Billy satu-satunya yang bisa menghibur gue. Tapi dia gak bisa gantiin elo Al, dan sekarang gue kenal sama orang yang mirip banget sama elo, tapi dia udah ada yang punya. Elo bisa liat kan kak Dessy malem ini cantik banget mirip bidadari, sama seperti yang elo bilang ke gue waktu gue pakai gaun itu. Niat gue sebelumnya mungkin jahat banget, tapi gue sadar, gue gak bisa misahin dua insan yang udah lama bersatu. Lo selalu bilang kalau elo akan selalu jadi bintang kehidupan gue yang salalu menyinari setiap langkah gue. Gue sayang banget sama elo Al, sama kak Dessy , kak Rio. Gue seneng liat orang yang gue sayangi bahagia.” Air mata menetes di kedua pipi Angie.
“Gue kangen banget sama elo Al.”
Kak Dessy dan Nika yang nggak sengaja mendengar Anggie dari balik pintu terdiam tertegun mendengar semua yang dikatakan Anggie. Mereka mencari Anggie sedari tadi, tapi salah seorang temannya lihat kalau tadi Anggie naik ke atas dan akhirnya mereka berdua mencarinya di atas. Tapi mereka nggak tega dan mengurungkan niatnya untuk menemui Anggie. Akhirnya mereka kembali ke pesta. Tak lama kemudian Anggie turun bergabung kembali di pesta itu.
“Nggie kamu dari mana aja?” tanya Nika.
“Nggak kok cuma dari belakang tadi, wah tambah seru aja nih pestanya?”
“Iya dari tadi tu kak Dessy dan kak Rio cariin elo, tu mereka”
“Hei dari mana aja, tadi kita cariin. Eh kita nge-dance bareng yuk, ya itung- itung buat yang terakhir kita sama-sama.” Ajak Mario.
Anggie inget kalau kak Rio pernah bilang mau ngelanjutin kuliahnya di Padang bersama kak Dessy. Karena mereka berdua emang sama-sama orang Padang.
“Ayo deh” jawab Anggie.
Kak Rio, kak Dessy Nika dan Anggie sangat senang malam itu. Setelah itu musik mulai berubah jadi lagu romantis untuk berdansa. Anggie dan Nika meninggalkan Mario dan Dessy untuk berdansa berdua dengan lagunya The Corrs’ one night’.
“Udahlah Nggie, kan masih banyak cowok lain yang jauh lebih cool, misalnya Kevin Zegers he.. he..” canda Nika untuk menghibur sobatnya itu.
“Apaan sih lo Nik”
“Eh Nggie, semalem gue mimpiin Ronald, dan dia titip pesen buat lo”
“Apa Ronald?”
“Iya, dalam mimpi gue, dia bilang kalau elo itu nggak sendiri. Dan dia bilang masih ada gue dan juga Billy yang bakal selalu ada buat lo.”
“Billy?”
“Ya gue juga gak tau kenapa Billy sampe bisa kebawa-bawa. Lo jangan terlalu terbelanggu kenangan masa lalu, dan dia bilang kalo akan ada penggantinya dia.”
“Hah, Ronald bilang gitu? Tapi kok dia masuk mimpi elo bukan masuk mimpi gue sih?”
“Yee mana gue tau, mungkin elo terlalu mikirin kak Rio kali?”
“Ye elo tu ye, tapi gue kangen banget sama Ronald Nik”
“Ya udah deh elo gak usah sedih gitu, gue haus nih, gue ambilin minum duluyach, elo tunggu sini”
Selagi menunggu Nika mengambilkan minum, Anggie memikirkan apa yang baru di mimpiin Nika tadi. Anggie masih merhatiin kak Dessy dan Rio yang lagi asyik dansa bareng.
“Hallo pa khabar kuping caplang..”
Anggie tertegun mendengar suara itu. Suara itu tidak asing lagi baginya, dan ‘ kuping caplang’ julukan yang diberikan seseorang padanya memang karena kupingnya yang caplang. Itu kan suara…
“Billy??”
“Yap!! Bener. Pa khabar neng?”
“Billy, jadi ini bener-bener elo, nggak mungkin?”
“Loh kenapa nggak mungkin?”
“Tapi elo kan di…”
“Iya gue baru pulang dari Jakarta, elo lupa ya kalo gue itu orang sini juga, kebetulan ortu gue pindah ke sini juga, jadi ya sekarang kalo liburan gue pulang ke sini.”
Anggie tidak bisa menahan rasa kangennya sama Billy, dia langsung memeluk Billy dengan erat. Dia nggak percaya sekaligus seneng banget.
“Billy?”sapa Nika kaget.
“Hai Nik, pa khabar?”
“Baik, tapi lo kok bisa di sini?”
“Ya bisalah, udah deh kok elo jadi bengong gitu sih?”
“Kapan lo pulang?” tanya Anggie memecah kebengongan Nika.
“Iya kapan lo ke sini?”tanya Nika yang akhirnya bicara juga.
“Sebenernya sih udah dua hari yang lalu. Sebelumnya gue sempet ke Yogya and ketemu sama teman-teman kita dulu, dan pas gue tanya soal lo, katanya lo pindah ke Palembang. Ya, mereka juga yang kasih tau nomer telephone elo di Palembang. Tadi gue telphone ke rumah lo. Kata nyokap lo, lo lagi ngadiri acara perpisahan sekolah, ya udah gue tanya langsung aja alamat sekolah lo, dan akhirnya nyampe deh gue di sini.”
Anggie masih nggak percaya apa yang dilihatya, begitu juga dengan Nika, dan kali ini Nika nggak banyak bicara.
“Eh kita duduk di situ yuk, skalian ngobrol-ngobrol, kita kan udah lama nggak ketemu.”
“Ok deh” kedua sobat baik ini menyambut ajakan Billy.
“Eh Nggie, lo masih inget nggak pesen Ronald di mimpi gue yang tadi gue bilangin ke elo, kalau nanti elo bakal dapetin penggantinya dia, nah mungkin aja penggantinya Billy.”
Anggie cuma membalas apa yang dikatakan Nika dengan senyuman manisnya. Kak Mario dan Dessy mulai ngumpul bareng teman-temannya. Anggie, Nika dan Billy duduk di salah satu bangku di pojokan ruangan dan mengobrol dengan asyiknya berbagi cerita. Malam itu semuanya gembira dan jadi malam yang tak terlupakan bagi Anggie. Seolah-olah Ronald memang mendengar ungkapan hati Anggie dan menepati janjinya untuk mencarikan pengganti dirinya.

Wednesday, May 26, 2010

cerpen-qu lagi

Mistery Gunung Dempo
By Nia Moffetra

Nggak terasa sudah seminggu terlewati setelah kejadian yang mustahil itu. Ari dan teman-temanya tidak pernah menyangka kejadian yang menimpa teman mereka, sewaktu mereka ingin pergi berpetualang di Gunung Dempo untuk mengisi waktu liburan mereka. Kini Ari termenung di depan sebuah tumpukan tanah yang bertaburkan bunga dengan begitu banyak tanda tanya di pikirannnya. Apa yang sebenarnya terjadi? Dan mengapa harus sobat baiknya?

Saat itu liburan akhir sekolah, seperti biasanya Ari and the Gank selalu punya rencana untuk mengisi waktu liburan mereka. Kali ini mereka memilih untuk berpetualang di Gunung Dempo. Maklumlah mereka ini memang anak-anak ekskul pendaki di sekolah mereka. GAPAMA, itulah nama sebutan untuk ekskul mereka.
Pagi ini Ari, Riko, Erin, Anita, Eka dan sobatnya yang paling ngocol Andi sudah pada siap-siap untuk mempersiapkan perbekalan mereka selama pendakian nanti. Semua alat dan perbekalan sudah dimasukkan ke mobil dan tinggal berangkat.
“Hey, tunggu guys, gue mau ikut!”
Terdengar suara cempreng mirip kaleng rombeng membuat suasana yang tadinya senang dan tenang menjadi meriang.
“Loh Bet?, kirain nggak jadi ikut, emang udah dapet izin dari nyokap lo?” tanya Erin heran.
“Ya udahlah. Tadi gue bilang ma nyokap, kalau gue gak diizini pergi sama kalian gue bakal pergi dari rumah dan mendingan nge-kost aja.”
Jelas si Obet sama teman-temannya. Sebenarnya Obet itu punya nama yang keren yaitu Robert, tapi kalau dilihat dari sifat dan penampilannya yang asal-asalan, kayaknya nama Robert terlalu keren buat dia. So, Ari and the Gank kompak manggil dia dengan nama Obet. Walaupuun gitu, Obet tetap teman yang oke. Rasa setiakawanannya boleh deh diacungi jempol.
“Ya udah barang lo masukin mobil sono, lagian bakal sepi juga kalo gak ada lo.” Balas Andi sambil merangkul pundak sobatnya itu.
“Nggak khawatir apa nyokap lo ntar?” tanya Eka.
Maklum Obet emang disayang banget ama nyokapnya. Setelah bokapnya meninggal, cuma Obet satu-satunya yang nyokapnya punya, karena Obet anak semata wayang.
“Ya enggaklah, gue udah jelasin ama nyokap, walaupun perlu waktu semaleman ngerayunya. But, at least dia ngerti juga kok.”
“Oohhhh…..” Kompak semua anak-anak menyambut balasan Obet.

Mobil terus melaju. Kanan-kiri penuh dengan pemandangan indah. Setelah menelusuri jalan yang panjang dan lumayan lama, akhirnya mereka sampai di desa terdekat dengan Gunung tersebut. Karena hari sudah sore, akhirnya mereka memutuskan untuk menginap di desa itu. Lagi pula kepala desa yang menganjurkan mereka untuk menginap di sana.
Tumben-tumbennya dari ketika pergi sampai ke desa ini Andi lebih pendiam dari biasanya. Biasanya kalo Andi udah ketemu dengan Obet, suasana jadi kayak pasar dan yang namanya gigi nih jadi nggak pernah ketutup karena selalu ketawa denger celotehan mereka. Tapi ini nggak biasanya dia jadi pendiam, walau sering kali digodain sama teman-temannya.
“Ndi, elo gak papa? Gak sakit kan?” tanya Ari sambil menempelkan tangannya di kening Andi untuk memastikan kalo sobatnya itu baik-baik aja.
“Apaan sih lo, gue gak papa kok, cuma lagi capek aja. Rasanya pingin tidur sepuas-puasnya.” Balas Andi sambil menguap.

Sekarang mereka berada di sebuah rumah kecil, ya mirip pondoklah, tempat mereka memulihkan stamina untuk pendakian besok. Pondok milik pak Samin, kepala desa di situ, memang cukup nyaman, ditambah lagi keramahan istrinya yang mau menyediakan makanan untuk mereka. Ya itung-itung makan malamlah walaupun ala kadarnya, tapi mereka menerimanya degan senang hati. Semua sudah kebagian jatah piring dan gelas , tapi Andi belum kebagian.
“Maaf Bu, piring dan gelasnya kurang satu.” Pinta Erin kepada Bu Samin.
“Loh, bukannya tadi sudah cukup? Kalu begitu Ibu ambilkan lagi.”
“Makasih Bu” jawab mereka kompak.
Mereka bisa memahami kalau Bu Samin belum begitu hapal dengan nama mereka, ya mereka kan orang baru. Makan malampun belum cukup kalau belum ada becandaan dari ke tujuh anak ini, yang membuat suasana makin riang walaupun cuaca sudah terasa dingin menggigit. Entah mengapa malam itu segala sesuatunya selalu kurang satu. Mulai dari piring, selimut sampai bantal. Ibu dan pak Samin sangat baik hingga rela memperlakukan mereka layaknya tamu kehormatan.

Pagi-pagi mereka sudah bangun. Mereka berencana untuk mulai mendaki secepat mungkin, tapi sebelumnya mereka mesti mendengarkan nasehat dari pak Samin tentang pantangan-pantangan apa saja yang mesti mereka patuhi. Banyak banget nasehatnya. Akhirnya mereka memutuskan untuk mulai mendaki pukul sebelas siang. Walau sudah siang tapi suasana di sana kelihatan masih seperti pagi.
Perjalanan kini telah dimulai. Sebenarnya mereka semua kebanyakkan istirahat, maklum udara pada saat itu masih sangat dingin. Akhirnya mereka sampai juga di puncak gunung tersebut. Sambil menatap pemandangan sekitar yang benar-benar indah dan menghirup segarnya udara. Mereka belum berniat untuk turun, masih mau menikmati dulu keindahan ynag bisa di lihat dari atas gunung sambil foto-foto dan masih sambil becandaan. Setelah puas menikmati pemandangan dari atas gunung, akhirnya mereka memutuskan untuk turun karena sudah semakin sore.
Hari sudah hampir malam dan mereka belum juga sampai di desa. Mereka tau kalau mereka tidak mungkin sampai di desa malam ini. Akhirnya mereka memutuskan untuk mendirikan tenda. Padahal salah satu dari mereka memperingatkan pantangan yang dijelaskan oleh pak Samin, jangan berhenti dan mendirikan tenda di tikungan jalan, tapi mau apa lagi hari keburu gelap, mereka tidak punya pilihan.
Malampun tiba, mereka mulai membagi tugas untuk berjaga malam. Tidak ada tanda-tanda yang aneh seperti yang diceritakan orang tentang pantangan berhenti di tikungan. Mereka hanya mempercayakan segalanya kepada yang di atas. Kini giliran Ari dan Riko untuk berjaga malam, tapi Andi malahan ngotot untuk menggantikan jaga malamnya Ari, karena Ari terlihat lelah dan sangat ngantuk. Ya, biasalah karena mereka teman akrab jadi sudah bisa pengertian satu sama lainnya. Sudah jam satu malam, walaupun mereka di suruh jaga, tapi tetap saja mereka tertidur di pinggiran api unggun dengan sleeping bednya masing-masing. Sedangkan yang lain tidur di dalam tenda.
Kini Riko yang bermasalah. Dia ingin buang air kecil. Dia bangunkan Andi untuk minta izin pipis, padahal gak ngomong juga gak papa.
“Ndi bangun dong, gue mo buang air kecil nih”
“Kenapa, lo minta dianterin?” tanya Adi sambil nguap.
Tapi Riko malah senyum, dan Andi tau apa arti dari senyuman Riko itu. Akhirnya Riko menemukan tempat yang pas untuk mengikuti naluri panggilan alamnya itu. Tempatnya nggak begitu jauh dari tempat tenda mereka, paling cuma dua meter.
“Lo, mesti permisi dulu kalo mo buang air, biar penunggunya gak marah” canda Andi, walau maksudnya pingin nakut-nakutin Riko.
“Iya gue tau” balas Riko.
“Udah belon, gue ngantuk nih, lama banget sih?” protes Andi sambil nguap lagi.
“Belom kelar nih, lagi tanggung, lo tau sendiri kan cuacanya dingin banget” balas Riko kesal.
Kelar pipis Riko nggak ngeliat Andi di tempatnya tadi.
“Pasti tu anak udah balik ke tenda duluan, dasar gak setia kawan, gimana kalau tadi ada binatang yang mau ganggu gue, atau makhluk-makhluk lain yang…” Riko langsung menghentikan gerutuannya dan langsung cepat-cepat kembali ke tenda karena dia ketakutan sendiri.
Tapi malam itu semua penghuni tenda pada terbangun karena dikejutkan berita kalau Andi hilang. Semuanya panik dan sibuk memanggil-manggil nama Andi, tapi tak sedikitpun terdengar jawaban dari Andi. Sekarang sudah jam setengah lima pagi, tapi belum ada juga tanda-tanda keberadaan Andi. Mereka kehabisan akal, nggak tau mesti gimana lagi. Satu-satunya cara mereka harus kembali ke desa secepatnya dan meminta bentuan kepada penduduk untuk mencari Andi.
Setelah sampai di desa, mereka ceritakan apa yang telah terjadi ini kepada kepala desa. Terutama Riko, dia merasa bersalah walaupun tampangnya kelihatan cuek. Yah memang begitulah tampang Riko, mau dalam keadaan apapun raut mukanya masih seperti itu-itu aja. Kepala desa sangat kaget mendengar cerita mereka.
“Loh, bukannya kalian ini memang datang berenam, lalu siapa Andi?” tanya kepala desa bingung.
“Maksud Bapak apa? Kita ke sini bertujuh, waktu kami menginap di sini pun kita masih orang tujuh.” Bantah Ari mencoba menerangkan.
Alangkah kagetnya kepala desa maupun istrinya ketika mendengar kalau dari awal mereka itu bertujuh bukan berenam. Istri kepala desa pun merasa heran ketika mereka menginap sebelumnya, mengapa piring, selimut dan segala yang diberikan selalu kurang satu, padahal istrinya yakin betul kalau dia tidak salah hitung.
Kini semuanya semakin rumit dan membingungkan. Kini tim penyari sedang berusaha untuk menemukan Andi. Apa yang terjadi pada Andi? Mengapa tidak ada orang yang melihat Andi pada saat mereka datang ke desa itu dan menginap di sana?. Padahal jela-jelas Andi itu selalu bersama mereka dan teman-temannya pun sempat mengobrol dengan Andi, tapi kenapa orang desa tidak tau keberadaan Andi waktu itu. Apakah Andi tak terlihat, seperti ‘ invisible man?’. Kalimat-kalimat itu terus mengusuk pikiran Ari dan teman-temannya. Tanda tanya besar, kesedihan dan isak tangis menyelimuti suasana pada saat itu. Mereka masih belum mengerti apa yang terjadi, kemana Andi? Apa dia pergi ke suatu tempat tanpa bilang dulu ke teman-temannya?. Ini benar-benar tidak masuk akal. Dan ada lagi satu hal yang benar-benar mengganggu mereka. Kepala desa bilang kalau tahun ini memang belun ada tumbal di gunung itu sampai akhirnya mereka datang. Jadi apakah Andi diambil ole penunggu gunung itu? Mereka masih belum bisa menerima apa yang sebenarnya terjadi, mereka hanya merasa menyesal sekarang.

Seminggu setelah menghilangnya Andi, kini mereka mendapatkan berita yang mengagetkan. Mereka senang ternyata Andi sudah ditemukan, tapi mereka merasa teramat sedih karena Andi ditemukan sudah tidak bernyawa lagi. Dia ditemukan di pinggir sungai kecil di dekat gunung itu. Tidak ada tanda-tanda luka maupun memar di tubuhnya. Andi masih berpakaian lengkap tanpa cacat sedikitpun, malah lengkap dengan senter yang masih tergenggam di tangannya. Tapi wajahnya terlihat begitu tenang dan damai seolah-olah dia sedang tertidur pulas.
Kini mereka masing-masing termenung , berderai air mata, berlandaskan tanda tanya dan penyesalan. Mengapa semua ini bisa terjadi pada Andi? Teman yang sangat baik dan ngocol itu. Ari masih menyesali kejadian itu. Seandainya saja mereka tidak pergi ke gunung itu, atau seandainya Andi tidak menggantikannya untuk berjaga malam, mungkin semua ini tidak terjadi. Namun mereka semuanya tau kalau semua itu percuma, semuanya sudah terjadi tanpa ada yang tau jawabannya.
“Kenapa orang baik umurnya pendek ya?”
Obet mencoba memecah keheningan, walau maksudnya itu untuk menghibur teman-temannya, tapi tak satupun diantara mereka yang mencoba untuk menjawabnya. Mereka hanya terdiam dan menatap gundukkan tanah yang bertaburkan bunga dan lembaran-lembaran puisi dan ungkapan kata-kata dari teman-teman baiknya. Tapi apakah benar sewaktu di desa tak ada orang yang bisa melihat Andi kecuali teman-temannya dan kenapa? Pertanyaan itu masih berdenging di pikiran Ari.
*In memory of Andi*

cerpen-qu

ini salah satu cerpen qu...pengen aj postingnya di blogqu ini hehhe

"Saat rinduku memanggilmu"
By nia moffetra

Ada yang membuatku tiba-tiba ingin menangis ketika dengerin lagu ‘Miss You Like Crazy-nya The Moffatts’, yang baru saja lewat di kupingku. Entah apa, yang jelas , aku segera matiin tape deck. Aku nggak ngerti kanapa aku harus inget Rein, adik kelasku sekaligus pacarku. Dua tahun lebih dua bulan lalu, perpisahan itu terjadi.
“Kak, saya ingin ngomong sama kamu”, katanya dua tahun tiga bulan lalu waktu papasan denganku di belakang sekolah. Aku ngerasa nggak kenal dia, tentu saja heran.
“Ngomong apa?”
“Saya…..suka kak Anggra”
Gelegaaar!!! Bener-bener gledek di siang hari. Kenal aja nggak, brani-braninya ngaku gitu. Malamnya dia nekad datangin tempat kost-annya aku.
“Kamu tau, aku ini kakak kelas kamu, jangan keterlaluan menggoda” kataku mangkel.
Sebab dia ngomong suka lagi. Aku liat dia rada ngeper.
“Saya nggak bermaksud menggoda kak Anggra. Saya sungguh-sungguh suka, bahkan cinta.” Katanya pelan.
“Cinta? Kamu tau cinta itu apa?” balasku pelan pula.
“Saya nggak bisa ngejelasin, tapi saya jelas merasakannya, sungguh.”
Edan, udah ngeper masih brani ngejawab. Itu sih namanya Edan bin Gila dah!!!
“Apa yang kamu rasakan?” tanyaku heran lagi.
“Sulit diuraikan. Saya selalu rindu kak Anggra. Selalu ingin berdekatan dengan kak Anggra. Dan selalu saja hati saya berdebar keras saat saya teringat kak Anggra.” Jelasnya.
Sumpah!!!! Aku tu muak banget dengernya. Seperti syair lagu dangdut aja. Kemuakan itu bertambah ketika temen-temen nyorakin aku setelah Rein pulang.
“Waw akhirnya perawan maskulin kita laku!!!” teriak Rina.
“Hee! Laku? Emang gue jualanan ? dia tuh adek kelas gue you know?!” bantahku sewot.
“Traktir dong Nggra. Proyek lo sukses kan ?” kata si Tata.
“Proyek apaan Ta?” aku tau, itu semua buat ngerjain aku.
“Les privat. More private lesson,” Tata ngomong lagi.
“Lumayan Nggra, biar kecil yang penting dia kan cowok” si Rina ikut nimbrungin.
“Gue setuju! Dengan begitu, satpam di depan itu bisa bene-bener kerja, kan selama ini lo selalu nemenin dia.” Eka yang dari tadi sibuk ngitung fisika ikutan ngomong.
Diam-diam hatiku gusar. Rupanya, kesendirian saya selama ini diperhatikan.
“Lo bener-bener serius ama dia kan Nggra?”
“Serius, serius kata lo?!” Kataku meledak.
“Asal lo-lo tau aja, kenal namanya aja gue kagak!”
“Haaa!! Tiga temen kostku itu pada takjub. Aku duduk di kursi goyang bak ratu, yang laen masih tetep lesehan di lantai.
Lo-lo terlalu berprasangka ke gue. Gue terangin, cowok itu adik kelas gue. Hanya itu yang gue tau. Soal nama, alamat dan bahan sensus lainnya, gue nggak tau sama sekali! mungkin tu anak pikir dia terkenal kali. Tapi kalo dia kenal gue, itu jelas! Siapa sih yang nggak kenal Anggra?”
Lalu aku ngelonyor ke kamar diiringi koor “uuuuuu” dari temen-temen.
Esoknya, Ika tergopoh-gopoh ngedatengin aku.
“Hai yang,” sapanya genit.
Ika emang slalu manggil lawan bicaranya dengan sebutan ‘Yang’, katanya artinya sayang.
“Hai juga”, jawabku pendek.
“Eh, semalem Rein datengin kamu yach?”
“Rein, Rein siapa?”
“Anak kelas dua tujuh?”
“Oooo itu, yang mana sih?”
“Sialan ! biasaan lo ya! Masa gak tau sih?”
“Swiiir!” kataku sambil ngacungin telunjuk dan jari tengah.
“Semalem lo di datengin cowok nggak?”
“He-eh!”
“Naaaaa!!!” Ika histeris “ itu Rein, Reinaldi.”
“Trus?” tanyaku nggak ngeh.
“Dia bilang ke gue bahwa dia suka lo” kata Ika serius.
Aku bengong. Apa hubungannya sampe Rein ngadu ke Ika?
“Dia emang masih kecil , baru eman belas. Tapi Yang, gue harap lo nggak ngecewain dia. Dia butuh someone dan itu kamu. Mau ngebales atau nolak perasaanya, itu hak lo. Not my bussiness. Hanya gue pesen, jangan sakiti dia.”
“Lo dibayar berapa ma dia?” tanyaku sinis.
Aku paling nggak suka masalahku privacy aku di usik-usik gitu.
“Dengar, Nggra! Gue emang nggak baek-baek amat jadi orang, but, bukan berarti lo bisa seenaknya nuduh gue doyan suap.”
Sungguh aku nyesel banget sudah buat Ika marah. Belakangan ini aku baru tau, Ika dan Rein sepupuan. Dia cerita soal Rein ke aku setelah Rein udah jadi ‘pacar’ aku. Nggak tau kenapa aku nerima dia setelah lima hari dia nunggu jawaban dari aku. Rein emang gigih. Tiap datengin aku, kesan takut-takutnya hilang, walau gak lantas jadi ngelunjak. Akhirnya aku terima aja. Gilanya, nggak hanya malem minggu aja dia apel, tiap hari dateng ke kostanku yang cuma selang tiga gedung dari sekolah. Aku nggak ada kesempatan untuk menghindar, dia selalu tau jam-jam nganggurku. Mungkin aku bosen kalo aja dia nggak gape cari bahan omongan. Musik, otomotif, gunung, laut, angkasa, itu hobby ku, yang ternyata sama dengan Rein. Hanya sejauh itu, perasaanku masih biasa aja. Tapi kata temen-temen kost, Rein adalah pacar yang baek. Terang aja mereka bilang gitu, soalnya Rein gak pelit buat ngebawain macem-macem cemilan. Aku gak tau, aku ini cinta apa nggak ma dia. Dibilang nggak, tapi aku mau aja jadi pacarnya. Tau deh gak punya perasaan apa-apa ama Rein. Juga ketika suatu malam minggu, saat temen-temen keluar dengan kacoan masing-masing.
“Boleh gak saya sun kamu?”
Aku kudu jawab apa coba? bilang nggak, kasian kalo nanti dia jadi malu, dia brani ngomong gitu kan pasti dia tu ngira saya bener-bener cinta dia. Mau jawab iya, ih! Kesannya giman gitu!. Tapi ternyata dia nggak butuh jawaban. Jadilah dia sun pipi aku. Tapi bukan itu persoalannya. Yang jadi pertanyaanku mana rasa’melayang’ yang diceritain Rina, dia bilang kalo cowok nge-kiss kita, kita bakal ngerasa melayang. Tapi waktu itu aku cool aja. Nggak nemuin kehangatan seperti di cerpen-cerpen, biasa aja. Satu-satunya rasa yang aku dapet : malu, ya, aku malu diperlakukan kaya gitu ama adek kelas.

Rein mungkin ngira aku tulus nyayangin dia, sebab aku nggak pernah minta apa-apa dari dia. Hal itu juga pernah bikin marah saking kekinya.
Malam minggu pertama (hari keempat kami jadian) dia ngajak keluar, but aku tolak. Hari berikutnya pun aku nggak pernah mau diajak keluar. Sial buat aku, ketika suatu sore aku keluar dari bioskop dengan Feri, Andi, Daniel. Dia marah besar.
“Duit pacar kamu haramin, kamu sia-siain, malah maen ama cowok laen. Kamu kira saya gak cemburu? Saya ini pacar kamu. Mau kamu gimana sih?”
Aku ngakak dalam hati ngeliat reaksinya itu. Dia berani ber-saya-kamu, tanpa brani nyebut namaku. Aku tau dia kesulitan harus mangggil saya tanpa embel-embel ‘kak’. Bagaimanapun saya lebih tua, kakak kelas lagi. Inilah enaknya di Yogya penuh ungguh-ungguh, sopan santun.
Sore itu Rein cuma marah-marah aja. Sedangkan aku bersikap sebagai pendengar yang baik. Sedikitpun saya gak niat untuk membela diri. Buat apa? Kalaupun saat itu Rein mutusin aku., it’s okay. Tapi tidak, dia gak mutusin aku. Malahan minta maaf ama aku.
“Saya nyesel udah marah-marah ke kamu. Nggak seharusnya saya marah-marah seperti itu. Kamu mau maafin saya kan?”
Aku mengangguk pasti. Dia tersenyum, lalu ngambil tanganku dan menggenggamnya. Kumat deh romantisnya.
“Kalo saya boleh tau, kenapa sih kamu gak pernah mau saya traktir apapun?”
Aku bingung. Jawaban apa yang harus aku berikan, aku sendiri tu gak tau kenapa.
“Aku nggak mau ngerepotin kamu.” Jawabku akhirnya.
Dia tertegun menatapku begitu rupa. Sumpah ! untuk kali pertama aku salah tingkah hanya karena ditatap. Sekilas aku lihat matanya berkaca-kaca.
“Kamu tulus nyintai saya?” serangnya.
Aku bingung lagi. Kudu jawab apa coba? Jujur aja aku belum ngerti persaaan aku ke dia.
“Jangan tanya itu,” pintaku dengan hati gusar.
“Makasih” katanya pelan, sambil mengecup tanganku.
Tuh kan dia salah sangka lagi. Dalam hati, aku ngerasa kasihan sama Rein. Sungguh, aku nggak ngerasa cinta ma dia. Yang aku rasa hanya kasihan padanya. Aku jahat, aku tega ngebiarin Rein selalu berharap. Tapi jahatkah aku membiarkan dia bahagia? Jahatkah aku membuat dia berhenti ngebo’at? jahatkah aku membuatnya sadar bahwa gak ada artinya frustasi gara-gara ortu super sibuk dan nggak perhatian?

Sebenarnya aku ingin jujur sama Rein bahwa aku nggak pernah bisa menganggap dia sebagai pacar. Aku ingin bilang., selama ini aku bohong. Aku ingin…..tidak!!! itu jauh lebih kejam.
“Nggra” panggilnya
Aku kaget ngedengernya. Rein berani memanggil namaku, Anggra? Sebuah panggilan yang belum pernah aku denger. Itu hari ke-12 kami jadian.
“Saya ingin ngomong serius ke kamu.”
“Tentang?”
“Kita. Tapi sebaiknya jangan di sini.”
“Oke. Aku ambil topi dulu. Panas tuh.”
“Tumben kamu mau saya ajak keluar?” komentarnya.
Aku duduk lagi, saya pandangi dia.
“Di sini aja” kataku agak dingin. Dia terhenyak.
“Kamu marah?” sesalnya
Aku menggeleng. Dia diam, aku juga.
“Maafin saya. Tapi kita harus bicara penting dan gak bisa di sini. Kamu mau maafin saya?”
Selalu saja aku luluh oleh matanya yang penuh sesal itu. Aku masuk tanpa kata.
“Nggra!” panggilnya. Aku menoleh.
“Aku mo ambil topi.” Ada kelegaan terbias di matanya.
Dia ngajak ke taman dekat kost-an.
“Kamu mau ngomong apa?” tanyaku gak sadar.
Dia kelihatan resah.
“Boleh saya tanya sesuatu ke kamu?”
“Kenapa nggak?”
“Sebenarnya…” dia ragu-ragu.
“Sebenarnya kamu cinta saya gak sih?”
Wahhh!!! GASWAT berat! Tapi aku kudu tenang, keep cooling.
“Kenapa kamu nanya gitu?” sahutku.
“Mulanya saya nggak peduli semua itu, Nggra. Bagi saya yang penting kamu pacar saya, itu sudah lebih dari cukup” tandasnya.
Aku cuma bisa diam.
“Tapi Nggra, akhirnya aku gak kuat denger komentar temen-temen tentang kamu”
“Mereka bilang apa?” tanyaku seperti seorang kakak yang lagi terima pengaduan dari adiknya.
“Mereka bilang, kamu nggak sayang dan nggak cinta sama saya. Kata mereka, hati kamu bukan untuk saya. Saya jadi ragu, jangan-jangan mereka benar. Soalnya kamu gak pernah kangen saya.”
“Dari mana kamu nganggep gitu?” Tanyaku dingin.
Gimana bisa kangen kalo aku sendiri gak tau perasaan aku ke dia. Lagian dia juga gak ngasih kesempatan agar aku kangenin. Pagi, siang, sore, malem, tiap hari dia nyamperin aku terus, gimana bisa kangen?
“Kamu gak pernah nelpon saya. Kamu gak pernah ngajak ketemuan duluan. Sambutan kamu setiap kali saya datangpun terlalu biasa. Dan yamg makin bikin saya ragu, kamu gak pernah sekalipun mau saya traktir. Kamu gak butuh saya, betulkan Nggra?” serangnya.
Saya menghela napas.
“Apa yang kamu inginkan Rein?” tanyaku pasrah.
“Saya ingin kamu butuhkan.”
Sebuah permintaan yang sederhana, tapi sulit untuk memenuhinya.
Malamnya, Rein datang lagi. Yang di rumah cuma aku sendirian. Temen-temen lagi ke rumah ibu kost untuk ngebantu persiapan ultah cucunya. Benar -benar cuma aku sendirian, karena pak Joe si satpam, juga ikut ke rumah induk. Sedangkan aku harus menyelesaikan tugas yang harus di tumpuk besok pagi.
“Kamu gak belajar Rein?” dia tersentak mendengarnya.
Tapi saya nyesel nanyain itu. Toh Rein bukan anak kecil lagi.
“Maaf ya bukannya saya mau bikin kamu tersinggung” pinta saya cepat.
Dia ambil tanganku, digenggamnya erat. Kelakuan Rein memang benar-benar aneh malam itu. Dia gak ngomong banyak, tapi matanya tak berhenti memandangiku.
“Anggra kamu cinta saya?” lagi-lagi itu.
“Jangan tanyakan Rein!” tiba-tiba saya ingin ngomong banyak.
“Cinta itu bukan untuk diumbar. Cinta hanya perlu hati sebagai tempat. Buat aku, cinta bukan berarti nelpon tiap sehari tiga kali, ngajak ketemu duluan, mau traktir. Apa kamu bisa jamin seorang cewek cinta ke kamu gara-gara dia mau seperti itu? Cinta nggak sesederhana itu Rein. Tentang pertanyaan kamu itupun, aku nggak bisa jawab sebab dalam cinta, ya, bisa berarti tidak dan tidak, bisa berarti iya. Terus terang aku nggak bisa jawab Rein. Maafin aku ya?”
Sungguh! Bukannya maksudku untuk bikin dia nganggep aku tu tulus cinta ke dia. Aku Cuma nerangin opini aku about love. Rein diam saja. Ada sesuatu yang aneh yang aku liat di matanya, seperti kesedihan, tapi aku gak tau pasti apa itu. Yang jelas malam itu Rein nge-sun aku lamaaaaaa banget, aku ngerasa sampe sesak napas,…suatu firasat muncul di hatiku, Rein akan pergi jauh, mungkin……

Pagi-pagi ika nyamperin aku. Dia ulurkan sebuah amplop putih.
“Dari Rein.” Lalu dia pergi lagi.
Tentu aja aku penasaran, nggak biasanya Rein begini. Lagian tiap hari ketemu, kekanak-kanakkan! But benarkah?
Buat Anggra yang baek:
Nggra, saya kecewa banget, karna menjelang saya pergi, saya tetap belum mendapat kepastian tentang perasaan kamu ke saya. Saya hanya meraba, mengira tanpa tau pasti. Nggra, saya akan kembali suatu saat. Panggil saya dengan rindumu. Saya butuh itu. Tapi saya harus pergi sekarang, saya ingin tau sampai berapa lama saya…..sanggup tanpa kamu.
Baek-baek di sini yach, Nggra.
Rein pergi entah kemana. Saya nggak berniat untuk cari tau. Sikap Ika ke aku sinis, tapi aku cuek.
Sejak Rein pergi, aku baru tau bagaimana rasanya kesepian. Aku jadi heran, bukankah sebelum ada Rein aku biasa aja? Juga ketika Rein hadir, semua normal-normal aja. Tapi kenapa setelah dia pergi lama, aku mulai kesepian? Ini membuat aku seperti orang linglung. Rina sempet marah ke aku, gara-gara aku ngelamun mulu pas latihan band di rumah Tata yang kami jadiin markas. Mereka emang sedang gak tau apa yang sedang terjadi di hatiku. Memang aku lebih suka nonton, makan, dan jalan-jalan bareng mereka daripada Rein. Sebenarnya aku suka heran dengan sikap Rein itu. Bukankah dia kurang curahan kasih sayang dari ortunya? Tetapi kenapa dia begitu sayang dan memperhatikan aku? Inipun baru aku sadari ketika dia sudah pergi, dan temen-temen pada ngomongin kebaikkan Rein.

Dan entahlah, The Moffatts yang baru aja nyanyiin ‘Miss You Lke Crazy’ itu membuat aku ingin menangis. Aku turun dari ranjang, menghampiri lemari dan membukanya. Di bagian paling bawah, aku ambil sebuah album putih. Kembali aku ke ranjang, tengkurap, lalu mulai membuka album itu lembar demi lembar album ini pemberian Rein waktu aku mau balik ke Palembang. Di dalamnya ada dua puluh helai foto Rein dalam berbagai pose. Malahan ada beberapa yang beukuran 10R. Sebuah pemberian yang cukup mahal, walau mungkin bagi Rein nggak ada artinya dibanding gitar yang aku tolak, karena sebelumnya dia nawarin aku sebuah gitar tapi aku tolak.
Rein memang boleh juga. Garis wajah begitu tegas, terkesan bandel tapi jantan. Matanya begitu cemerlang, pancaran otaknya yang cerdas. Hei sedang apa kamu Anggra? Cepat-cepat aku tutup album itu, dan melatakkannya di tempat semula. Apa ini rindu? Tidak! Semoga bukan! Aku lirik jam di meja belajar, jam dua sore. Aku bergegas ke kamar mandi. Jam tiga nanti aku ada kuliah. Lulus SMA aku memang gak mau balik ke Palembang, paling cuma kalo liburan. Sudah terlanjur kerasan di Yogya.
Tidak seperti biasanya, aku bercermin lumayan lama kali ini. Rambut aku hiasi jepit rambut, berbedak tipis dan ber-lipgloss. Aku juga gak tau kenapa aku pakai baju ketat dan jins. Di cermin seperti bukan aku, kaya Anggra yang lain, kelihatan feminim. Aku tersenyum membayangkan ledekan tema-teman ntar, sebab jins dan kemeja adalah trade mark ku di kampus. Tepat setengah tiga aku keluar dari kamar. Sejak kuliah kami memang pindah kost, tapi tetap dengan teman kost yang sama.
“Eh baru mau aku panggil udah keluar duluan,” kata Rina di depan di pintuku.
“Ada apa?”
“Ada tamu buat kamu.”
“Cewek or cowok?”
“Cowok! Mirip kamu. Temuin gih.”
Aku mengangguk.
“Aku buatin minum dulu yach!” kata Rina ramah.
Aku letakkin diktat dan map di maja telphone, lalu segera keluar.
“Anggra”
Hampir aku nggak percaya menatap cowok yang berdiri menyambutku. Sungguh, hati ini bergetar hebat melihatnya. Tak pernah begini sebelumnya.
“Saya Rein, Reinaldi.”
Saya menghambur ke pelukannya. Dia dekap aku erat, ada hangat yang tiba-tiba hadir. Tangisku yang tadi tertunda, mengalir tanpa berusaha menahannya.
“Saya kangen kamu Nggra” bisiknya.
Aku nggak tau apakah aku harus mengatakan hal yang sama. Dia datang menepati janji, pada saat aku rindu. Aku tengadah menatapnya. Aku sadari aku begitu kecil dalam dekapannya. Rein tampak lebih tinggi dan gagah sekarang. Beda dengan dirinya yang dulu kurus. Dan pasti dia benar-benar sudah jauh dari drugs. Aku masih menatapnya, ketika aku sadari ternyata Rina benar, kami mirip, walaupun dia lebih putih. Kabar yang aku dengar ketika Rein pergi dulu, dia masuk ke pusat rehabilitasi karena dia sudah berani mencoba rokok dan obat-obatan, frustasi karena masalah keluarganya yang tak kunjung tenang dan lagi di tambah kebimbangannya pada perasaanku yang selalu dia pertanyakan. Tapi sekarang dia jauh lebih baik dan sepertinya tidak ada lagi kegelisahan dan rasa frustasi di dirinya. Dan menurut orang Jawa, kalau wajah kita mirip dengan pacar kita, itu tandanya berjodoh.
*****