Wednesday, May 26, 2010

cerpen-qu lagi

Mistery Gunung Dempo
By Nia Moffetra

Nggak terasa sudah seminggu terlewati setelah kejadian yang mustahil itu. Ari dan teman-temanya tidak pernah menyangka kejadian yang menimpa teman mereka, sewaktu mereka ingin pergi berpetualang di Gunung Dempo untuk mengisi waktu liburan mereka. Kini Ari termenung di depan sebuah tumpukan tanah yang bertaburkan bunga dengan begitu banyak tanda tanya di pikirannnya. Apa yang sebenarnya terjadi? Dan mengapa harus sobat baiknya?

Saat itu liburan akhir sekolah, seperti biasanya Ari and the Gank selalu punya rencana untuk mengisi waktu liburan mereka. Kali ini mereka memilih untuk berpetualang di Gunung Dempo. Maklumlah mereka ini memang anak-anak ekskul pendaki di sekolah mereka. GAPAMA, itulah nama sebutan untuk ekskul mereka.
Pagi ini Ari, Riko, Erin, Anita, Eka dan sobatnya yang paling ngocol Andi sudah pada siap-siap untuk mempersiapkan perbekalan mereka selama pendakian nanti. Semua alat dan perbekalan sudah dimasukkan ke mobil dan tinggal berangkat.
“Hey, tunggu guys, gue mau ikut!”
Terdengar suara cempreng mirip kaleng rombeng membuat suasana yang tadinya senang dan tenang menjadi meriang.
“Loh Bet?, kirain nggak jadi ikut, emang udah dapet izin dari nyokap lo?” tanya Erin heran.
“Ya udahlah. Tadi gue bilang ma nyokap, kalau gue gak diizini pergi sama kalian gue bakal pergi dari rumah dan mendingan nge-kost aja.”
Jelas si Obet sama teman-temannya. Sebenarnya Obet itu punya nama yang keren yaitu Robert, tapi kalau dilihat dari sifat dan penampilannya yang asal-asalan, kayaknya nama Robert terlalu keren buat dia. So, Ari and the Gank kompak manggil dia dengan nama Obet. Walaupuun gitu, Obet tetap teman yang oke. Rasa setiakawanannya boleh deh diacungi jempol.
“Ya udah barang lo masukin mobil sono, lagian bakal sepi juga kalo gak ada lo.” Balas Andi sambil merangkul pundak sobatnya itu.
“Nggak khawatir apa nyokap lo ntar?” tanya Eka.
Maklum Obet emang disayang banget ama nyokapnya. Setelah bokapnya meninggal, cuma Obet satu-satunya yang nyokapnya punya, karena Obet anak semata wayang.
“Ya enggaklah, gue udah jelasin ama nyokap, walaupun perlu waktu semaleman ngerayunya. But, at least dia ngerti juga kok.”
“Oohhhh…..” Kompak semua anak-anak menyambut balasan Obet.

Mobil terus melaju. Kanan-kiri penuh dengan pemandangan indah. Setelah menelusuri jalan yang panjang dan lumayan lama, akhirnya mereka sampai di desa terdekat dengan Gunung tersebut. Karena hari sudah sore, akhirnya mereka memutuskan untuk menginap di desa itu. Lagi pula kepala desa yang menganjurkan mereka untuk menginap di sana.
Tumben-tumbennya dari ketika pergi sampai ke desa ini Andi lebih pendiam dari biasanya. Biasanya kalo Andi udah ketemu dengan Obet, suasana jadi kayak pasar dan yang namanya gigi nih jadi nggak pernah ketutup karena selalu ketawa denger celotehan mereka. Tapi ini nggak biasanya dia jadi pendiam, walau sering kali digodain sama teman-temannya.
“Ndi, elo gak papa? Gak sakit kan?” tanya Ari sambil menempelkan tangannya di kening Andi untuk memastikan kalo sobatnya itu baik-baik aja.
“Apaan sih lo, gue gak papa kok, cuma lagi capek aja. Rasanya pingin tidur sepuas-puasnya.” Balas Andi sambil menguap.

Sekarang mereka berada di sebuah rumah kecil, ya mirip pondoklah, tempat mereka memulihkan stamina untuk pendakian besok. Pondok milik pak Samin, kepala desa di situ, memang cukup nyaman, ditambah lagi keramahan istrinya yang mau menyediakan makanan untuk mereka. Ya itung-itung makan malamlah walaupun ala kadarnya, tapi mereka menerimanya degan senang hati. Semua sudah kebagian jatah piring dan gelas , tapi Andi belum kebagian.
“Maaf Bu, piring dan gelasnya kurang satu.” Pinta Erin kepada Bu Samin.
“Loh, bukannya tadi sudah cukup? Kalu begitu Ibu ambilkan lagi.”
“Makasih Bu” jawab mereka kompak.
Mereka bisa memahami kalau Bu Samin belum begitu hapal dengan nama mereka, ya mereka kan orang baru. Makan malampun belum cukup kalau belum ada becandaan dari ke tujuh anak ini, yang membuat suasana makin riang walaupun cuaca sudah terasa dingin menggigit. Entah mengapa malam itu segala sesuatunya selalu kurang satu. Mulai dari piring, selimut sampai bantal. Ibu dan pak Samin sangat baik hingga rela memperlakukan mereka layaknya tamu kehormatan.

Pagi-pagi mereka sudah bangun. Mereka berencana untuk mulai mendaki secepat mungkin, tapi sebelumnya mereka mesti mendengarkan nasehat dari pak Samin tentang pantangan-pantangan apa saja yang mesti mereka patuhi. Banyak banget nasehatnya. Akhirnya mereka memutuskan untuk mulai mendaki pukul sebelas siang. Walau sudah siang tapi suasana di sana kelihatan masih seperti pagi.
Perjalanan kini telah dimulai. Sebenarnya mereka semua kebanyakkan istirahat, maklum udara pada saat itu masih sangat dingin. Akhirnya mereka sampai juga di puncak gunung tersebut. Sambil menatap pemandangan sekitar yang benar-benar indah dan menghirup segarnya udara. Mereka belum berniat untuk turun, masih mau menikmati dulu keindahan ynag bisa di lihat dari atas gunung sambil foto-foto dan masih sambil becandaan. Setelah puas menikmati pemandangan dari atas gunung, akhirnya mereka memutuskan untuk turun karena sudah semakin sore.
Hari sudah hampir malam dan mereka belum juga sampai di desa. Mereka tau kalau mereka tidak mungkin sampai di desa malam ini. Akhirnya mereka memutuskan untuk mendirikan tenda. Padahal salah satu dari mereka memperingatkan pantangan yang dijelaskan oleh pak Samin, jangan berhenti dan mendirikan tenda di tikungan jalan, tapi mau apa lagi hari keburu gelap, mereka tidak punya pilihan.
Malampun tiba, mereka mulai membagi tugas untuk berjaga malam. Tidak ada tanda-tanda yang aneh seperti yang diceritakan orang tentang pantangan berhenti di tikungan. Mereka hanya mempercayakan segalanya kepada yang di atas. Kini giliran Ari dan Riko untuk berjaga malam, tapi Andi malahan ngotot untuk menggantikan jaga malamnya Ari, karena Ari terlihat lelah dan sangat ngantuk. Ya, biasalah karena mereka teman akrab jadi sudah bisa pengertian satu sama lainnya. Sudah jam satu malam, walaupun mereka di suruh jaga, tapi tetap saja mereka tertidur di pinggiran api unggun dengan sleeping bednya masing-masing. Sedangkan yang lain tidur di dalam tenda.
Kini Riko yang bermasalah. Dia ingin buang air kecil. Dia bangunkan Andi untuk minta izin pipis, padahal gak ngomong juga gak papa.
“Ndi bangun dong, gue mo buang air kecil nih”
“Kenapa, lo minta dianterin?” tanya Adi sambil nguap.
Tapi Riko malah senyum, dan Andi tau apa arti dari senyuman Riko itu. Akhirnya Riko menemukan tempat yang pas untuk mengikuti naluri panggilan alamnya itu. Tempatnya nggak begitu jauh dari tempat tenda mereka, paling cuma dua meter.
“Lo, mesti permisi dulu kalo mo buang air, biar penunggunya gak marah” canda Andi, walau maksudnya pingin nakut-nakutin Riko.
“Iya gue tau” balas Riko.
“Udah belon, gue ngantuk nih, lama banget sih?” protes Andi sambil nguap lagi.
“Belom kelar nih, lagi tanggung, lo tau sendiri kan cuacanya dingin banget” balas Riko kesal.
Kelar pipis Riko nggak ngeliat Andi di tempatnya tadi.
“Pasti tu anak udah balik ke tenda duluan, dasar gak setia kawan, gimana kalau tadi ada binatang yang mau ganggu gue, atau makhluk-makhluk lain yang…” Riko langsung menghentikan gerutuannya dan langsung cepat-cepat kembali ke tenda karena dia ketakutan sendiri.
Tapi malam itu semua penghuni tenda pada terbangun karena dikejutkan berita kalau Andi hilang. Semuanya panik dan sibuk memanggil-manggil nama Andi, tapi tak sedikitpun terdengar jawaban dari Andi. Sekarang sudah jam setengah lima pagi, tapi belum ada juga tanda-tanda keberadaan Andi. Mereka kehabisan akal, nggak tau mesti gimana lagi. Satu-satunya cara mereka harus kembali ke desa secepatnya dan meminta bentuan kepada penduduk untuk mencari Andi.
Setelah sampai di desa, mereka ceritakan apa yang telah terjadi ini kepada kepala desa. Terutama Riko, dia merasa bersalah walaupun tampangnya kelihatan cuek. Yah memang begitulah tampang Riko, mau dalam keadaan apapun raut mukanya masih seperti itu-itu aja. Kepala desa sangat kaget mendengar cerita mereka.
“Loh, bukannya kalian ini memang datang berenam, lalu siapa Andi?” tanya kepala desa bingung.
“Maksud Bapak apa? Kita ke sini bertujuh, waktu kami menginap di sini pun kita masih orang tujuh.” Bantah Ari mencoba menerangkan.
Alangkah kagetnya kepala desa maupun istrinya ketika mendengar kalau dari awal mereka itu bertujuh bukan berenam. Istri kepala desa pun merasa heran ketika mereka menginap sebelumnya, mengapa piring, selimut dan segala yang diberikan selalu kurang satu, padahal istrinya yakin betul kalau dia tidak salah hitung.
Kini semuanya semakin rumit dan membingungkan. Kini tim penyari sedang berusaha untuk menemukan Andi. Apa yang terjadi pada Andi? Mengapa tidak ada orang yang melihat Andi pada saat mereka datang ke desa itu dan menginap di sana?. Padahal jela-jelas Andi itu selalu bersama mereka dan teman-temannya pun sempat mengobrol dengan Andi, tapi kenapa orang desa tidak tau keberadaan Andi waktu itu. Apakah Andi tak terlihat, seperti ‘ invisible man?’. Kalimat-kalimat itu terus mengusuk pikiran Ari dan teman-temannya. Tanda tanya besar, kesedihan dan isak tangis menyelimuti suasana pada saat itu. Mereka masih belum mengerti apa yang terjadi, kemana Andi? Apa dia pergi ke suatu tempat tanpa bilang dulu ke teman-temannya?. Ini benar-benar tidak masuk akal. Dan ada lagi satu hal yang benar-benar mengganggu mereka. Kepala desa bilang kalau tahun ini memang belun ada tumbal di gunung itu sampai akhirnya mereka datang. Jadi apakah Andi diambil ole penunggu gunung itu? Mereka masih belum bisa menerima apa yang sebenarnya terjadi, mereka hanya merasa menyesal sekarang.

Seminggu setelah menghilangnya Andi, kini mereka mendapatkan berita yang mengagetkan. Mereka senang ternyata Andi sudah ditemukan, tapi mereka merasa teramat sedih karena Andi ditemukan sudah tidak bernyawa lagi. Dia ditemukan di pinggir sungai kecil di dekat gunung itu. Tidak ada tanda-tanda luka maupun memar di tubuhnya. Andi masih berpakaian lengkap tanpa cacat sedikitpun, malah lengkap dengan senter yang masih tergenggam di tangannya. Tapi wajahnya terlihat begitu tenang dan damai seolah-olah dia sedang tertidur pulas.
Kini mereka masing-masing termenung , berderai air mata, berlandaskan tanda tanya dan penyesalan. Mengapa semua ini bisa terjadi pada Andi? Teman yang sangat baik dan ngocol itu. Ari masih menyesali kejadian itu. Seandainya saja mereka tidak pergi ke gunung itu, atau seandainya Andi tidak menggantikannya untuk berjaga malam, mungkin semua ini tidak terjadi. Namun mereka semuanya tau kalau semua itu percuma, semuanya sudah terjadi tanpa ada yang tau jawabannya.
“Kenapa orang baik umurnya pendek ya?”
Obet mencoba memecah keheningan, walau maksudnya itu untuk menghibur teman-temannya, tapi tak satupun diantara mereka yang mencoba untuk menjawabnya. Mereka hanya terdiam dan menatap gundukkan tanah yang bertaburkan bunga dan lembaran-lembaran puisi dan ungkapan kata-kata dari teman-teman baiknya. Tapi apakah benar sewaktu di desa tak ada orang yang bisa melihat Andi kecuali teman-temannya dan kenapa? Pertanyaan itu masih berdenging di pikiran Ari.
*In memory of Andi*

cerpen-qu

ini salah satu cerpen qu...pengen aj postingnya di blogqu ini hehhe

"Saat rinduku memanggilmu"
By nia moffetra

Ada yang membuatku tiba-tiba ingin menangis ketika dengerin lagu ‘Miss You Like Crazy-nya The Moffatts’, yang baru saja lewat di kupingku. Entah apa, yang jelas , aku segera matiin tape deck. Aku nggak ngerti kanapa aku harus inget Rein, adik kelasku sekaligus pacarku. Dua tahun lebih dua bulan lalu, perpisahan itu terjadi.
“Kak, saya ingin ngomong sama kamu”, katanya dua tahun tiga bulan lalu waktu papasan denganku di belakang sekolah. Aku ngerasa nggak kenal dia, tentu saja heran.
“Ngomong apa?”
“Saya…..suka kak Anggra”
Gelegaaar!!! Bener-bener gledek di siang hari. Kenal aja nggak, brani-braninya ngaku gitu. Malamnya dia nekad datangin tempat kost-annya aku.
“Kamu tau, aku ini kakak kelas kamu, jangan keterlaluan menggoda” kataku mangkel.
Sebab dia ngomong suka lagi. Aku liat dia rada ngeper.
“Saya nggak bermaksud menggoda kak Anggra. Saya sungguh-sungguh suka, bahkan cinta.” Katanya pelan.
“Cinta? Kamu tau cinta itu apa?” balasku pelan pula.
“Saya nggak bisa ngejelasin, tapi saya jelas merasakannya, sungguh.”
Edan, udah ngeper masih brani ngejawab. Itu sih namanya Edan bin Gila dah!!!
“Apa yang kamu rasakan?” tanyaku heran lagi.
“Sulit diuraikan. Saya selalu rindu kak Anggra. Selalu ingin berdekatan dengan kak Anggra. Dan selalu saja hati saya berdebar keras saat saya teringat kak Anggra.” Jelasnya.
Sumpah!!!! Aku tu muak banget dengernya. Seperti syair lagu dangdut aja. Kemuakan itu bertambah ketika temen-temen nyorakin aku setelah Rein pulang.
“Waw akhirnya perawan maskulin kita laku!!!” teriak Rina.
“Hee! Laku? Emang gue jualanan ? dia tuh adek kelas gue you know?!” bantahku sewot.
“Traktir dong Nggra. Proyek lo sukses kan ?” kata si Tata.
“Proyek apaan Ta?” aku tau, itu semua buat ngerjain aku.
“Les privat. More private lesson,” Tata ngomong lagi.
“Lumayan Nggra, biar kecil yang penting dia kan cowok” si Rina ikut nimbrungin.
“Gue setuju! Dengan begitu, satpam di depan itu bisa bene-bener kerja, kan selama ini lo selalu nemenin dia.” Eka yang dari tadi sibuk ngitung fisika ikutan ngomong.
Diam-diam hatiku gusar. Rupanya, kesendirian saya selama ini diperhatikan.
“Lo bener-bener serius ama dia kan Nggra?”
“Serius, serius kata lo?!” Kataku meledak.
“Asal lo-lo tau aja, kenal namanya aja gue kagak!”
“Haaa!! Tiga temen kostku itu pada takjub. Aku duduk di kursi goyang bak ratu, yang laen masih tetep lesehan di lantai.
Lo-lo terlalu berprasangka ke gue. Gue terangin, cowok itu adik kelas gue. Hanya itu yang gue tau. Soal nama, alamat dan bahan sensus lainnya, gue nggak tau sama sekali! mungkin tu anak pikir dia terkenal kali. Tapi kalo dia kenal gue, itu jelas! Siapa sih yang nggak kenal Anggra?”
Lalu aku ngelonyor ke kamar diiringi koor “uuuuuu” dari temen-temen.
Esoknya, Ika tergopoh-gopoh ngedatengin aku.
“Hai yang,” sapanya genit.
Ika emang slalu manggil lawan bicaranya dengan sebutan ‘Yang’, katanya artinya sayang.
“Hai juga”, jawabku pendek.
“Eh, semalem Rein datengin kamu yach?”
“Rein, Rein siapa?”
“Anak kelas dua tujuh?”
“Oooo itu, yang mana sih?”
“Sialan ! biasaan lo ya! Masa gak tau sih?”
“Swiiir!” kataku sambil ngacungin telunjuk dan jari tengah.
“Semalem lo di datengin cowok nggak?”
“He-eh!”
“Naaaaa!!!” Ika histeris “ itu Rein, Reinaldi.”
“Trus?” tanyaku nggak ngeh.
“Dia bilang ke gue bahwa dia suka lo” kata Ika serius.
Aku bengong. Apa hubungannya sampe Rein ngadu ke Ika?
“Dia emang masih kecil , baru eman belas. Tapi Yang, gue harap lo nggak ngecewain dia. Dia butuh someone dan itu kamu. Mau ngebales atau nolak perasaanya, itu hak lo. Not my bussiness. Hanya gue pesen, jangan sakiti dia.”
“Lo dibayar berapa ma dia?” tanyaku sinis.
Aku paling nggak suka masalahku privacy aku di usik-usik gitu.
“Dengar, Nggra! Gue emang nggak baek-baek amat jadi orang, but, bukan berarti lo bisa seenaknya nuduh gue doyan suap.”
Sungguh aku nyesel banget sudah buat Ika marah. Belakangan ini aku baru tau, Ika dan Rein sepupuan. Dia cerita soal Rein ke aku setelah Rein udah jadi ‘pacar’ aku. Nggak tau kenapa aku nerima dia setelah lima hari dia nunggu jawaban dari aku. Rein emang gigih. Tiap datengin aku, kesan takut-takutnya hilang, walau gak lantas jadi ngelunjak. Akhirnya aku terima aja. Gilanya, nggak hanya malem minggu aja dia apel, tiap hari dateng ke kostanku yang cuma selang tiga gedung dari sekolah. Aku nggak ada kesempatan untuk menghindar, dia selalu tau jam-jam nganggurku. Mungkin aku bosen kalo aja dia nggak gape cari bahan omongan. Musik, otomotif, gunung, laut, angkasa, itu hobby ku, yang ternyata sama dengan Rein. Hanya sejauh itu, perasaanku masih biasa aja. Tapi kata temen-temen kost, Rein adalah pacar yang baek. Terang aja mereka bilang gitu, soalnya Rein gak pelit buat ngebawain macem-macem cemilan. Aku gak tau, aku ini cinta apa nggak ma dia. Dibilang nggak, tapi aku mau aja jadi pacarnya. Tau deh gak punya perasaan apa-apa ama Rein. Juga ketika suatu malam minggu, saat temen-temen keluar dengan kacoan masing-masing.
“Boleh gak saya sun kamu?”
Aku kudu jawab apa coba? bilang nggak, kasian kalo nanti dia jadi malu, dia brani ngomong gitu kan pasti dia tu ngira saya bener-bener cinta dia. Mau jawab iya, ih! Kesannya giman gitu!. Tapi ternyata dia nggak butuh jawaban. Jadilah dia sun pipi aku. Tapi bukan itu persoalannya. Yang jadi pertanyaanku mana rasa’melayang’ yang diceritain Rina, dia bilang kalo cowok nge-kiss kita, kita bakal ngerasa melayang. Tapi waktu itu aku cool aja. Nggak nemuin kehangatan seperti di cerpen-cerpen, biasa aja. Satu-satunya rasa yang aku dapet : malu, ya, aku malu diperlakukan kaya gitu ama adek kelas.

Rein mungkin ngira aku tulus nyayangin dia, sebab aku nggak pernah minta apa-apa dari dia. Hal itu juga pernah bikin marah saking kekinya.
Malam minggu pertama (hari keempat kami jadian) dia ngajak keluar, but aku tolak. Hari berikutnya pun aku nggak pernah mau diajak keluar. Sial buat aku, ketika suatu sore aku keluar dari bioskop dengan Feri, Andi, Daniel. Dia marah besar.
“Duit pacar kamu haramin, kamu sia-siain, malah maen ama cowok laen. Kamu kira saya gak cemburu? Saya ini pacar kamu. Mau kamu gimana sih?”
Aku ngakak dalam hati ngeliat reaksinya itu. Dia berani ber-saya-kamu, tanpa brani nyebut namaku. Aku tau dia kesulitan harus mangggil saya tanpa embel-embel ‘kak’. Bagaimanapun saya lebih tua, kakak kelas lagi. Inilah enaknya di Yogya penuh ungguh-ungguh, sopan santun.
Sore itu Rein cuma marah-marah aja. Sedangkan aku bersikap sebagai pendengar yang baik. Sedikitpun saya gak niat untuk membela diri. Buat apa? Kalaupun saat itu Rein mutusin aku., it’s okay. Tapi tidak, dia gak mutusin aku. Malahan minta maaf ama aku.
“Saya nyesel udah marah-marah ke kamu. Nggak seharusnya saya marah-marah seperti itu. Kamu mau maafin saya kan?”
Aku mengangguk pasti. Dia tersenyum, lalu ngambil tanganku dan menggenggamnya. Kumat deh romantisnya.
“Kalo saya boleh tau, kenapa sih kamu gak pernah mau saya traktir apapun?”
Aku bingung. Jawaban apa yang harus aku berikan, aku sendiri tu gak tau kenapa.
“Aku nggak mau ngerepotin kamu.” Jawabku akhirnya.
Dia tertegun menatapku begitu rupa. Sumpah ! untuk kali pertama aku salah tingkah hanya karena ditatap. Sekilas aku lihat matanya berkaca-kaca.
“Kamu tulus nyintai saya?” serangnya.
Aku bingung lagi. Kudu jawab apa coba? Jujur aja aku belum ngerti persaaan aku ke dia.
“Jangan tanya itu,” pintaku dengan hati gusar.
“Makasih” katanya pelan, sambil mengecup tanganku.
Tuh kan dia salah sangka lagi. Dalam hati, aku ngerasa kasihan sama Rein. Sungguh, aku nggak ngerasa cinta ma dia. Yang aku rasa hanya kasihan padanya. Aku jahat, aku tega ngebiarin Rein selalu berharap. Tapi jahatkah aku membiarkan dia bahagia? Jahatkah aku membuat dia berhenti ngebo’at? jahatkah aku membuatnya sadar bahwa gak ada artinya frustasi gara-gara ortu super sibuk dan nggak perhatian?

Sebenarnya aku ingin jujur sama Rein bahwa aku nggak pernah bisa menganggap dia sebagai pacar. Aku ingin bilang., selama ini aku bohong. Aku ingin…..tidak!!! itu jauh lebih kejam.
“Nggra” panggilnya
Aku kaget ngedengernya. Rein berani memanggil namaku, Anggra? Sebuah panggilan yang belum pernah aku denger. Itu hari ke-12 kami jadian.
“Saya ingin ngomong serius ke kamu.”
“Tentang?”
“Kita. Tapi sebaiknya jangan di sini.”
“Oke. Aku ambil topi dulu. Panas tuh.”
“Tumben kamu mau saya ajak keluar?” komentarnya.
Aku duduk lagi, saya pandangi dia.
“Di sini aja” kataku agak dingin. Dia terhenyak.
“Kamu marah?” sesalnya
Aku menggeleng. Dia diam, aku juga.
“Maafin saya. Tapi kita harus bicara penting dan gak bisa di sini. Kamu mau maafin saya?”
Selalu saja aku luluh oleh matanya yang penuh sesal itu. Aku masuk tanpa kata.
“Nggra!” panggilnya. Aku menoleh.
“Aku mo ambil topi.” Ada kelegaan terbias di matanya.
Dia ngajak ke taman dekat kost-an.
“Kamu mau ngomong apa?” tanyaku gak sadar.
Dia kelihatan resah.
“Boleh saya tanya sesuatu ke kamu?”
“Kenapa nggak?”
“Sebenarnya…” dia ragu-ragu.
“Sebenarnya kamu cinta saya gak sih?”
Wahhh!!! GASWAT berat! Tapi aku kudu tenang, keep cooling.
“Kenapa kamu nanya gitu?” sahutku.
“Mulanya saya nggak peduli semua itu, Nggra. Bagi saya yang penting kamu pacar saya, itu sudah lebih dari cukup” tandasnya.
Aku cuma bisa diam.
“Tapi Nggra, akhirnya aku gak kuat denger komentar temen-temen tentang kamu”
“Mereka bilang apa?” tanyaku seperti seorang kakak yang lagi terima pengaduan dari adiknya.
“Mereka bilang, kamu nggak sayang dan nggak cinta sama saya. Kata mereka, hati kamu bukan untuk saya. Saya jadi ragu, jangan-jangan mereka benar. Soalnya kamu gak pernah kangen saya.”
“Dari mana kamu nganggep gitu?” Tanyaku dingin.
Gimana bisa kangen kalo aku sendiri gak tau perasaan aku ke dia. Lagian dia juga gak ngasih kesempatan agar aku kangenin. Pagi, siang, sore, malem, tiap hari dia nyamperin aku terus, gimana bisa kangen?
“Kamu gak pernah nelpon saya. Kamu gak pernah ngajak ketemuan duluan. Sambutan kamu setiap kali saya datangpun terlalu biasa. Dan yamg makin bikin saya ragu, kamu gak pernah sekalipun mau saya traktir. Kamu gak butuh saya, betulkan Nggra?” serangnya.
Saya menghela napas.
“Apa yang kamu inginkan Rein?” tanyaku pasrah.
“Saya ingin kamu butuhkan.”
Sebuah permintaan yang sederhana, tapi sulit untuk memenuhinya.
Malamnya, Rein datang lagi. Yang di rumah cuma aku sendirian. Temen-temen lagi ke rumah ibu kost untuk ngebantu persiapan ultah cucunya. Benar -benar cuma aku sendirian, karena pak Joe si satpam, juga ikut ke rumah induk. Sedangkan aku harus menyelesaikan tugas yang harus di tumpuk besok pagi.
“Kamu gak belajar Rein?” dia tersentak mendengarnya.
Tapi saya nyesel nanyain itu. Toh Rein bukan anak kecil lagi.
“Maaf ya bukannya saya mau bikin kamu tersinggung” pinta saya cepat.
Dia ambil tanganku, digenggamnya erat. Kelakuan Rein memang benar-benar aneh malam itu. Dia gak ngomong banyak, tapi matanya tak berhenti memandangiku.
“Anggra kamu cinta saya?” lagi-lagi itu.
“Jangan tanyakan Rein!” tiba-tiba saya ingin ngomong banyak.
“Cinta itu bukan untuk diumbar. Cinta hanya perlu hati sebagai tempat. Buat aku, cinta bukan berarti nelpon tiap sehari tiga kali, ngajak ketemu duluan, mau traktir. Apa kamu bisa jamin seorang cewek cinta ke kamu gara-gara dia mau seperti itu? Cinta nggak sesederhana itu Rein. Tentang pertanyaan kamu itupun, aku nggak bisa jawab sebab dalam cinta, ya, bisa berarti tidak dan tidak, bisa berarti iya. Terus terang aku nggak bisa jawab Rein. Maafin aku ya?”
Sungguh! Bukannya maksudku untuk bikin dia nganggep aku tu tulus cinta ke dia. Aku Cuma nerangin opini aku about love. Rein diam saja. Ada sesuatu yang aneh yang aku liat di matanya, seperti kesedihan, tapi aku gak tau pasti apa itu. Yang jelas malam itu Rein nge-sun aku lamaaaaaa banget, aku ngerasa sampe sesak napas,…suatu firasat muncul di hatiku, Rein akan pergi jauh, mungkin……

Pagi-pagi ika nyamperin aku. Dia ulurkan sebuah amplop putih.
“Dari Rein.” Lalu dia pergi lagi.
Tentu aja aku penasaran, nggak biasanya Rein begini. Lagian tiap hari ketemu, kekanak-kanakkan! But benarkah?
Buat Anggra yang baek:
Nggra, saya kecewa banget, karna menjelang saya pergi, saya tetap belum mendapat kepastian tentang perasaan kamu ke saya. Saya hanya meraba, mengira tanpa tau pasti. Nggra, saya akan kembali suatu saat. Panggil saya dengan rindumu. Saya butuh itu. Tapi saya harus pergi sekarang, saya ingin tau sampai berapa lama saya…..sanggup tanpa kamu.
Baek-baek di sini yach, Nggra.
Rein pergi entah kemana. Saya nggak berniat untuk cari tau. Sikap Ika ke aku sinis, tapi aku cuek.
Sejak Rein pergi, aku baru tau bagaimana rasanya kesepian. Aku jadi heran, bukankah sebelum ada Rein aku biasa aja? Juga ketika Rein hadir, semua normal-normal aja. Tapi kenapa setelah dia pergi lama, aku mulai kesepian? Ini membuat aku seperti orang linglung. Rina sempet marah ke aku, gara-gara aku ngelamun mulu pas latihan band di rumah Tata yang kami jadiin markas. Mereka emang sedang gak tau apa yang sedang terjadi di hatiku. Memang aku lebih suka nonton, makan, dan jalan-jalan bareng mereka daripada Rein. Sebenarnya aku suka heran dengan sikap Rein itu. Bukankah dia kurang curahan kasih sayang dari ortunya? Tetapi kenapa dia begitu sayang dan memperhatikan aku? Inipun baru aku sadari ketika dia sudah pergi, dan temen-temen pada ngomongin kebaikkan Rein.

Dan entahlah, The Moffatts yang baru aja nyanyiin ‘Miss You Lke Crazy’ itu membuat aku ingin menangis. Aku turun dari ranjang, menghampiri lemari dan membukanya. Di bagian paling bawah, aku ambil sebuah album putih. Kembali aku ke ranjang, tengkurap, lalu mulai membuka album itu lembar demi lembar album ini pemberian Rein waktu aku mau balik ke Palembang. Di dalamnya ada dua puluh helai foto Rein dalam berbagai pose. Malahan ada beberapa yang beukuran 10R. Sebuah pemberian yang cukup mahal, walau mungkin bagi Rein nggak ada artinya dibanding gitar yang aku tolak, karena sebelumnya dia nawarin aku sebuah gitar tapi aku tolak.
Rein memang boleh juga. Garis wajah begitu tegas, terkesan bandel tapi jantan. Matanya begitu cemerlang, pancaran otaknya yang cerdas. Hei sedang apa kamu Anggra? Cepat-cepat aku tutup album itu, dan melatakkannya di tempat semula. Apa ini rindu? Tidak! Semoga bukan! Aku lirik jam di meja belajar, jam dua sore. Aku bergegas ke kamar mandi. Jam tiga nanti aku ada kuliah. Lulus SMA aku memang gak mau balik ke Palembang, paling cuma kalo liburan. Sudah terlanjur kerasan di Yogya.
Tidak seperti biasanya, aku bercermin lumayan lama kali ini. Rambut aku hiasi jepit rambut, berbedak tipis dan ber-lipgloss. Aku juga gak tau kenapa aku pakai baju ketat dan jins. Di cermin seperti bukan aku, kaya Anggra yang lain, kelihatan feminim. Aku tersenyum membayangkan ledekan tema-teman ntar, sebab jins dan kemeja adalah trade mark ku di kampus. Tepat setengah tiga aku keluar dari kamar. Sejak kuliah kami memang pindah kost, tapi tetap dengan teman kost yang sama.
“Eh baru mau aku panggil udah keluar duluan,” kata Rina di depan di pintuku.
“Ada apa?”
“Ada tamu buat kamu.”
“Cewek or cowok?”
“Cowok! Mirip kamu. Temuin gih.”
Aku mengangguk.
“Aku buatin minum dulu yach!” kata Rina ramah.
Aku letakkin diktat dan map di maja telphone, lalu segera keluar.
“Anggra”
Hampir aku nggak percaya menatap cowok yang berdiri menyambutku. Sungguh, hati ini bergetar hebat melihatnya. Tak pernah begini sebelumnya.
“Saya Rein, Reinaldi.”
Saya menghambur ke pelukannya. Dia dekap aku erat, ada hangat yang tiba-tiba hadir. Tangisku yang tadi tertunda, mengalir tanpa berusaha menahannya.
“Saya kangen kamu Nggra” bisiknya.
Aku nggak tau apakah aku harus mengatakan hal yang sama. Dia datang menepati janji, pada saat aku rindu. Aku tengadah menatapnya. Aku sadari aku begitu kecil dalam dekapannya. Rein tampak lebih tinggi dan gagah sekarang. Beda dengan dirinya yang dulu kurus. Dan pasti dia benar-benar sudah jauh dari drugs. Aku masih menatapnya, ketika aku sadari ternyata Rina benar, kami mirip, walaupun dia lebih putih. Kabar yang aku dengar ketika Rein pergi dulu, dia masuk ke pusat rehabilitasi karena dia sudah berani mencoba rokok dan obat-obatan, frustasi karena masalah keluarganya yang tak kunjung tenang dan lagi di tambah kebimbangannya pada perasaanku yang selalu dia pertanyakan. Tapi sekarang dia jauh lebih baik dan sepertinya tidak ada lagi kegelisahan dan rasa frustasi di dirinya. Dan menurut orang Jawa, kalau wajah kita mirip dengan pacar kita, itu tandanya berjodoh.
*****