Wednesday, May 26, 2010

cerpen-qu lagi

Mistery Gunung Dempo
By Nia Moffetra

Nggak terasa sudah seminggu terlewati setelah kejadian yang mustahil itu. Ari dan teman-temanya tidak pernah menyangka kejadian yang menimpa teman mereka, sewaktu mereka ingin pergi berpetualang di Gunung Dempo untuk mengisi waktu liburan mereka. Kini Ari termenung di depan sebuah tumpukan tanah yang bertaburkan bunga dengan begitu banyak tanda tanya di pikirannnya. Apa yang sebenarnya terjadi? Dan mengapa harus sobat baiknya?

Saat itu liburan akhir sekolah, seperti biasanya Ari and the Gank selalu punya rencana untuk mengisi waktu liburan mereka. Kali ini mereka memilih untuk berpetualang di Gunung Dempo. Maklumlah mereka ini memang anak-anak ekskul pendaki di sekolah mereka. GAPAMA, itulah nama sebutan untuk ekskul mereka.
Pagi ini Ari, Riko, Erin, Anita, Eka dan sobatnya yang paling ngocol Andi sudah pada siap-siap untuk mempersiapkan perbekalan mereka selama pendakian nanti. Semua alat dan perbekalan sudah dimasukkan ke mobil dan tinggal berangkat.
“Hey, tunggu guys, gue mau ikut!”
Terdengar suara cempreng mirip kaleng rombeng membuat suasana yang tadinya senang dan tenang menjadi meriang.
“Loh Bet?, kirain nggak jadi ikut, emang udah dapet izin dari nyokap lo?” tanya Erin heran.
“Ya udahlah. Tadi gue bilang ma nyokap, kalau gue gak diizini pergi sama kalian gue bakal pergi dari rumah dan mendingan nge-kost aja.”
Jelas si Obet sama teman-temannya. Sebenarnya Obet itu punya nama yang keren yaitu Robert, tapi kalau dilihat dari sifat dan penampilannya yang asal-asalan, kayaknya nama Robert terlalu keren buat dia. So, Ari and the Gank kompak manggil dia dengan nama Obet. Walaupuun gitu, Obet tetap teman yang oke. Rasa setiakawanannya boleh deh diacungi jempol.
“Ya udah barang lo masukin mobil sono, lagian bakal sepi juga kalo gak ada lo.” Balas Andi sambil merangkul pundak sobatnya itu.
“Nggak khawatir apa nyokap lo ntar?” tanya Eka.
Maklum Obet emang disayang banget ama nyokapnya. Setelah bokapnya meninggal, cuma Obet satu-satunya yang nyokapnya punya, karena Obet anak semata wayang.
“Ya enggaklah, gue udah jelasin ama nyokap, walaupun perlu waktu semaleman ngerayunya. But, at least dia ngerti juga kok.”
“Oohhhh…..” Kompak semua anak-anak menyambut balasan Obet.

Mobil terus melaju. Kanan-kiri penuh dengan pemandangan indah. Setelah menelusuri jalan yang panjang dan lumayan lama, akhirnya mereka sampai di desa terdekat dengan Gunung tersebut. Karena hari sudah sore, akhirnya mereka memutuskan untuk menginap di desa itu. Lagi pula kepala desa yang menganjurkan mereka untuk menginap di sana.
Tumben-tumbennya dari ketika pergi sampai ke desa ini Andi lebih pendiam dari biasanya. Biasanya kalo Andi udah ketemu dengan Obet, suasana jadi kayak pasar dan yang namanya gigi nih jadi nggak pernah ketutup karena selalu ketawa denger celotehan mereka. Tapi ini nggak biasanya dia jadi pendiam, walau sering kali digodain sama teman-temannya.
“Ndi, elo gak papa? Gak sakit kan?” tanya Ari sambil menempelkan tangannya di kening Andi untuk memastikan kalo sobatnya itu baik-baik aja.
“Apaan sih lo, gue gak papa kok, cuma lagi capek aja. Rasanya pingin tidur sepuas-puasnya.” Balas Andi sambil menguap.

Sekarang mereka berada di sebuah rumah kecil, ya mirip pondoklah, tempat mereka memulihkan stamina untuk pendakian besok. Pondok milik pak Samin, kepala desa di situ, memang cukup nyaman, ditambah lagi keramahan istrinya yang mau menyediakan makanan untuk mereka. Ya itung-itung makan malamlah walaupun ala kadarnya, tapi mereka menerimanya degan senang hati. Semua sudah kebagian jatah piring dan gelas , tapi Andi belum kebagian.
“Maaf Bu, piring dan gelasnya kurang satu.” Pinta Erin kepada Bu Samin.
“Loh, bukannya tadi sudah cukup? Kalu begitu Ibu ambilkan lagi.”
“Makasih Bu” jawab mereka kompak.
Mereka bisa memahami kalau Bu Samin belum begitu hapal dengan nama mereka, ya mereka kan orang baru. Makan malampun belum cukup kalau belum ada becandaan dari ke tujuh anak ini, yang membuat suasana makin riang walaupun cuaca sudah terasa dingin menggigit. Entah mengapa malam itu segala sesuatunya selalu kurang satu. Mulai dari piring, selimut sampai bantal. Ibu dan pak Samin sangat baik hingga rela memperlakukan mereka layaknya tamu kehormatan.

Pagi-pagi mereka sudah bangun. Mereka berencana untuk mulai mendaki secepat mungkin, tapi sebelumnya mereka mesti mendengarkan nasehat dari pak Samin tentang pantangan-pantangan apa saja yang mesti mereka patuhi. Banyak banget nasehatnya. Akhirnya mereka memutuskan untuk mulai mendaki pukul sebelas siang. Walau sudah siang tapi suasana di sana kelihatan masih seperti pagi.
Perjalanan kini telah dimulai. Sebenarnya mereka semua kebanyakkan istirahat, maklum udara pada saat itu masih sangat dingin. Akhirnya mereka sampai juga di puncak gunung tersebut. Sambil menatap pemandangan sekitar yang benar-benar indah dan menghirup segarnya udara. Mereka belum berniat untuk turun, masih mau menikmati dulu keindahan ynag bisa di lihat dari atas gunung sambil foto-foto dan masih sambil becandaan. Setelah puas menikmati pemandangan dari atas gunung, akhirnya mereka memutuskan untuk turun karena sudah semakin sore.
Hari sudah hampir malam dan mereka belum juga sampai di desa. Mereka tau kalau mereka tidak mungkin sampai di desa malam ini. Akhirnya mereka memutuskan untuk mendirikan tenda. Padahal salah satu dari mereka memperingatkan pantangan yang dijelaskan oleh pak Samin, jangan berhenti dan mendirikan tenda di tikungan jalan, tapi mau apa lagi hari keburu gelap, mereka tidak punya pilihan.
Malampun tiba, mereka mulai membagi tugas untuk berjaga malam. Tidak ada tanda-tanda yang aneh seperti yang diceritakan orang tentang pantangan berhenti di tikungan. Mereka hanya mempercayakan segalanya kepada yang di atas. Kini giliran Ari dan Riko untuk berjaga malam, tapi Andi malahan ngotot untuk menggantikan jaga malamnya Ari, karena Ari terlihat lelah dan sangat ngantuk. Ya, biasalah karena mereka teman akrab jadi sudah bisa pengertian satu sama lainnya. Sudah jam satu malam, walaupun mereka di suruh jaga, tapi tetap saja mereka tertidur di pinggiran api unggun dengan sleeping bednya masing-masing. Sedangkan yang lain tidur di dalam tenda.
Kini Riko yang bermasalah. Dia ingin buang air kecil. Dia bangunkan Andi untuk minta izin pipis, padahal gak ngomong juga gak papa.
“Ndi bangun dong, gue mo buang air kecil nih”
“Kenapa, lo minta dianterin?” tanya Adi sambil nguap.
Tapi Riko malah senyum, dan Andi tau apa arti dari senyuman Riko itu. Akhirnya Riko menemukan tempat yang pas untuk mengikuti naluri panggilan alamnya itu. Tempatnya nggak begitu jauh dari tempat tenda mereka, paling cuma dua meter.
“Lo, mesti permisi dulu kalo mo buang air, biar penunggunya gak marah” canda Andi, walau maksudnya pingin nakut-nakutin Riko.
“Iya gue tau” balas Riko.
“Udah belon, gue ngantuk nih, lama banget sih?” protes Andi sambil nguap lagi.
“Belom kelar nih, lagi tanggung, lo tau sendiri kan cuacanya dingin banget” balas Riko kesal.
Kelar pipis Riko nggak ngeliat Andi di tempatnya tadi.
“Pasti tu anak udah balik ke tenda duluan, dasar gak setia kawan, gimana kalau tadi ada binatang yang mau ganggu gue, atau makhluk-makhluk lain yang…” Riko langsung menghentikan gerutuannya dan langsung cepat-cepat kembali ke tenda karena dia ketakutan sendiri.
Tapi malam itu semua penghuni tenda pada terbangun karena dikejutkan berita kalau Andi hilang. Semuanya panik dan sibuk memanggil-manggil nama Andi, tapi tak sedikitpun terdengar jawaban dari Andi. Sekarang sudah jam setengah lima pagi, tapi belum ada juga tanda-tanda keberadaan Andi. Mereka kehabisan akal, nggak tau mesti gimana lagi. Satu-satunya cara mereka harus kembali ke desa secepatnya dan meminta bentuan kepada penduduk untuk mencari Andi.
Setelah sampai di desa, mereka ceritakan apa yang telah terjadi ini kepada kepala desa. Terutama Riko, dia merasa bersalah walaupun tampangnya kelihatan cuek. Yah memang begitulah tampang Riko, mau dalam keadaan apapun raut mukanya masih seperti itu-itu aja. Kepala desa sangat kaget mendengar cerita mereka.
“Loh, bukannya kalian ini memang datang berenam, lalu siapa Andi?” tanya kepala desa bingung.
“Maksud Bapak apa? Kita ke sini bertujuh, waktu kami menginap di sini pun kita masih orang tujuh.” Bantah Ari mencoba menerangkan.
Alangkah kagetnya kepala desa maupun istrinya ketika mendengar kalau dari awal mereka itu bertujuh bukan berenam. Istri kepala desa pun merasa heran ketika mereka menginap sebelumnya, mengapa piring, selimut dan segala yang diberikan selalu kurang satu, padahal istrinya yakin betul kalau dia tidak salah hitung.
Kini semuanya semakin rumit dan membingungkan. Kini tim penyari sedang berusaha untuk menemukan Andi. Apa yang terjadi pada Andi? Mengapa tidak ada orang yang melihat Andi pada saat mereka datang ke desa itu dan menginap di sana?. Padahal jela-jelas Andi itu selalu bersama mereka dan teman-temannya pun sempat mengobrol dengan Andi, tapi kenapa orang desa tidak tau keberadaan Andi waktu itu. Apakah Andi tak terlihat, seperti ‘ invisible man?’. Kalimat-kalimat itu terus mengusuk pikiran Ari dan teman-temannya. Tanda tanya besar, kesedihan dan isak tangis menyelimuti suasana pada saat itu. Mereka masih belum mengerti apa yang terjadi, kemana Andi? Apa dia pergi ke suatu tempat tanpa bilang dulu ke teman-temannya?. Ini benar-benar tidak masuk akal. Dan ada lagi satu hal yang benar-benar mengganggu mereka. Kepala desa bilang kalau tahun ini memang belun ada tumbal di gunung itu sampai akhirnya mereka datang. Jadi apakah Andi diambil ole penunggu gunung itu? Mereka masih belum bisa menerima apa yang sebenarnya terjadi, mereka hanya merasa menyesal sekarang.

Seminggu setelah menghilangnya Andi, kini mereka mendapatkan berita yang mengagetkan. Mereka senang ternyata Andi sudah ditemukan, tapi mereka merasa teramat sedih karena Andi ditemukan sudah tidak bernyawa lagi. Dia ditemukan di pinggir sungai kecil di dekat gunung itu. Tidak ada tanda-tanda luka maupun memar di tubuhnya. Andi masih berpakaian lengkap tanpa cacat sedikitpun, malah lengkap dengan senter yang masih tergenggam di tangannya. Tapi wajahnya terlihat begitu tenang dan damai seolah-olah dia sedang tertidur pulas.
Kini mereka masing-masing termenung , berderai air mata, berlandaskan tanda tanya dan penyesalan. Mengapa semua ini bisa terjadi pada Andi? Teman yang sangat baik dan ngocol itu. Ari masih menyesali kejadian itu. Seandainya saja mereka tidak pergi ke gunung itu, atau seandainya Andi tidak menggantikannya untuk berjaga malam, mungkin semua ini tidak terjadi. Namun mereka semuanya tau kalau semua itu percuma, semuanya sudah terjadi tanpa ada yang tau jawabannya.
“Kenapa orang baik umurnya pendek ya?”
Obet mencoba memecah keheningan, walau maksudnya itu untuk menghibur teman-temannya, tapi tak satupun diantara mereka yang mencoba untuk menjawabnya. Mereka hanya terdiam dan menatap gundukkan tanah yang bertaburkan bunga dan lembaran-lembaran puisi dan ungkapan kata-kata dari teman-teman baiknya. Tapi apakah benar sewaktu di desa tak ada orang yang bisa melihat Andi kecuali teman-temannya dan kenapa? Pertanyaan itu masih berdenging di pikiran Ari.
*In memory of Andi*

No comments: